SEJARAH ISLAM (SEJARAH
BERDIRINYA)
DINASTI AL-AYYUBIYAH
Sejarah Pembentukan Dinasti Al-ayyubuyah (569-650/ 1174-1252 M)
Berdirinya dinasti Al-ayyubiyah
Bani Ayyubiyah merupakan keturunan
Ayyub suku Kurdi. Pendiri dinasti ini adalah Salahuddin Yusuf al-Ayyubi putra
dari Najamuddin bin Ayyub. Pada masa Nuruddin Zanki (Gubernur Suriah dari bani
Abbasiyah), Salahuddin diangkat sebagai kepala garnisum di Balbek.
Kehidupan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi
penuh dengan perjuangan dan peperangan. Semua itu dilakukan dalam rangka
menunaikan tugas negara untuk memadamkan sebuah pemberontakan dan juga dalam
menghadapi tentara salib.
Perang yang dilakukannya dalam
rangka untuk mempertahankan dan membela agama. Selain itu Salahuddin Yusuf
al-Ayyubi juga seorang yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap umat agama
lain, hal ini terbukti:
a.
Ketika
beliau menguasai Iskandariyah ia tetap mengunjungi orang-orang kristen
b.
Ketika
perdamaian tercapai dengan tentara salib, ia mengijinkan orang-orang kristen
berziarah ke Baitul Makdis.
Keberhasilan beliau sebagai tentara
mulai terlihat ketika ia mendampingi pamannya Asaduddin Syirkuh yang mendapat
tugas dari Nuruddin Zanki untuk membantu Bani Fatimiyah di Mesir yang perdana
menterinya diserang oleh Dirgam. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi berhasil
mengalahkan Dirgam, sehingga beliau dan pamannya mendapat hadiah dari Perdana
Menteri berupa sepertiga pajak tanah Mesir. Akhirnya Perdana Menteri Syawar
berhasil menduduki kembali jabatannya pada tahun 1164 M.
Tiga tahun kemudian, Salahuddin
Yusuf al-Ayyubi kembali menyertai pamannya ke Mesir. Hal ini dilakukan karena
Perdana Menteri Syawar bersekutu/ bekerjasama dengan Amauri yaitu seorang
panglima perang tentara salib yang dulu pernah membantu Dirgam. Maka terjadilah
peperangan yang sangat sengit antara pasukan Salahuddin dan pasukan Syawar yang
dibantu oleh Amauri. Dalam. Dalam peperangan tersebut pasukan Salahuddin
berhasil menduduki Iskandariyah, tetapi ia dikepunt dari darat dan laut oleh
tentara salib yang dipimpin oleh Amauri. Akhirnya peperangan ini berakhir
dengan perjanjian damai pada bulah Agustus 1167 M, yang isinya adalah sebagai berikut:
a.
Pertukaran
tawanan perang
b. Salahuddin
Yusuf al-Ayyubi harus kembali ke Suriah
c.
Amauri harus
kembali ke Yerusalem
d. Kota
Iskandariyah diserahkan kembali kepada Syawar.
Pada tahun 1169, tentara salib yang
dipimpin oleh Amauri melanggar perjanjian damai yang disepakati dahulu yaitu
Dia menyerang Mesir dan bermaksud untuk menguasainya. Hal itu tentu saja sangat
membahayakan keadaan umat islam di Mesir, karena:
a.
Mereka
banyak membunuh rakyat di Mesir
b. Mereka berusaha
menurunkan Khalifah al-Adid dari jabatannya
Khalifah al-Addid mengangkat
Asaduddin Syirkuh sebagai Perdana Menteri Mesir pada tahun 1169 M. ini
merupakan pertama kalinya keluarga al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri, tetapi
sayang beliau menjadi Perdana Menteri hanya dua bulan karena meninggal dunia.
Khalifal al-Adid akhirnya mengangkat Salahuddin Yusuf al-Ayyubi menjadi Perdana
Menteri menggantikan pamannya Asaduddin Syirkuh dalam usia 32 tahun. Sebagai
Perdana Menteri beliau mendapati gelah al-Malik an-Nasir artinya penguasa yang
bijaksana.
Setelah Khalifah al-Adid (Khalifah
Dinasti Fatimah) yang terakhir wafat pada tahun 1171 M, Salahuddin Yusuf
al-Ayyubi berkuasa penyh untuk menjalankan peran keagamaan dan politik. Maka
sejak saat itulah Dinasti Ayyubiyah mulai berkuasa hingga sekitar 75
tahun lamanya.
Penguasa-penguasa Dinasti
Al-Ayyubiah
Selama lebih kurang 75 tahun dinasti
Al-Ayyubiyah berkuasa, terdapat 9 orang penguasa yakni sebagai berikut:
1. Salahuddin
Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M)
2. Malik
Al-Aziz Imaduddin (1193-1198 M)
3. Malik
Al-Mansur Nasiruddin (1198-1200 M)
4. Malik
Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)
5. Malik
Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)
6. Malik
Al-Adil Sifuddin, pemerintahan II (1238-1240 M)
7. Malik
As-Saleh Najmuddin (1240-1249 M)
8. Malik
Al-Mu’azzam Turansyah (1249-1250 M)
9. Malik
Al-Asyraf Muzaffaruddin (1250-1252 M)
Dalam uraian berikut akan dibahas
mengenai penguasa-penguasa yang menonjol, yaitu:
1. Salahuddin
Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M)
2. Malik
Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)
3. Malik
Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)
1. Salahuddin
Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M)
Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi tidak
hanya dikenal sebagai seorang panglima perang yang gagah berani dan ditakuti,
akan tetapi lebih dari itu, beliau adalah seorang yang sangat memperhatikan
kemajuan pendidikan. Salah satu karya monumental yang disumbangkannya selama
beliau menjabat sebagai sultan adalah bangunan sebuah benteng pertahanan yang
diberi nama Qal’atul Jabal yang dibangun di Kairo pada tahun 1183 M.
Selain itu beliau juga merupakan
salah seorang Sultan dari dinasti Ayyubiyah yang memiliki kemampuan memimpin.
Hal ini diketahui dari cara Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi dalam mengangkat para
pembantunya (Wazir) yang terdiri dari orang-orang cerdas dan terdidik. Mereka
antara lain seperti Al-Qadhi Al-Fadhil dan Al-Katib Al-Isfahani. Sementara itu
sekretaris pribadinya bernama Bahruddin bin Syadad, yang kemudian dikenal
sebagai penulis Biografinya.
Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi tidak
membuat suatu kekuasaan yang terpusat di Mesir. Beliau justru membagi wilayak
kekuasaannya kepada saudara-saudara dan keturunannya. Hal ini mengakibatkan
munculnya beberapa cabang dinast Ayyubiyah berikut ini:
a.
Kesultanan
Ayyubiyah di Mesir
b. Kesultanan
Ayyubiyah di Damaskus
c.
Keamiran
Ayyubiyah di Aleppo
d. Kesultanan
Ayyubiyah di Hamah
e.
Kesultanan
Ayyubiyah di Homs
f.
Kesultanan
Ayyubiyah di Mayyafaiqin
g. Kesultanan
Ayyubiyah di Sinjar
h. Kesultanan
Ayyubiyah di Hisn Kayfa
i.
Kesultanan
Ayyubiyah di Yaman
j.
Keamiran
Ayyubiyah di Kerak
Salahuddin Yusuf al-Ayyubi dianggap
sebagai pembaharu di Mesir karena dapat mengembalikan mazhab sunni. Melihat
keberhasilannya itu Khlaifah al-Mustadi dari Bani Abbasiyah memberi gelar
kepadanya al-Mu’izz li Amiiril mu’miniin (penguasa yang mulia). Khalifah
al-Mustadi juga memberikan Mesir, an-Naubah, Yaman, Tripoli, Suriah dan Maghrib
sebagai wilayah kekuasaan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi pada tahun 1175 M. sejak
saat itulah Salahuddin dianggap sebagai Sultanul Islam Wal Muslimiin (Pemimpin
umat ilam dan kaum muslimin).
Di antara orang-orang yang iri dan
melakukan pemberontakan terhadap Salahuddi Yusuf al-Ayyubi adalah sebagai
berikut:
a.
Pemberontakan
yang dilakukan Nuruddin Zanki, ia memberontak karena kebesaran namanya
tersaingi oleh Salahuddin Yusuf al-Ayyubi
b. Pemberontakan
yang dilakukan Hijab (Kepala rumah tangga Khalifah al-Adid), ia memberontak
karena merasa hak-haknya banyak dikurangi.
c.
Pemberontakan
yang dilakukan oleh kaum Asassin yang dipimpin oleh Syakh Sinan karena merasa
tersaingi.
d. Pemberontakan
yang dilakukan Zanki, kelompok ini merupakan permbela Al-Malik as-Salih yang
bersekongkol dengan al-Gazi (penguasa Mosul dan paman Malik as-Salih Ismail)
yang beusaha menjatuhkan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi karena merasa tersaingi.
Perang melawan tentara salib yang
pertama adalah melawan Amalric 1, taja Yerusalem, yang kedua melawan Baldwin IV
(putra Amalric 1), yang ketiga melawan Raynald de Chatillon (penguasa benteng
Karak di sebelah tidur laut mati), yang keempat melawan Raja Baldwin V sehingga
kota-kota seperti Teberias, Nasirah, Samaria, Suweida, Beirut, Batrun, Akra,
Ramalah, Gaza Hebron dan Baitul Maqdis berhasil dikuasai oleh Salahuddin Yusuf
al-Ayyubi.
Selain Clement III, para penguasa
Eropa yang membantu dalam perang melawan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi adalah:
a.
Philip II,
Raja Prancis
b. Rivhard I,
The Lion Heart (Hati Singa), Raja Inggris
c.
William,
raja Sisilia
d. Frederick
Barbafossa, Kaisar Jerman
Setelah perang melawan tentara salib
selesai, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi memindahkan pusat pemerintahannya dari
Mesir ke Damaskus, dan dia meninggal di sana pada tahun 1193 M dalam usia 57
tahun.
2. Malik
Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)
Sering dipanggil Al-Adil nama
lengkapnya adalah al-Malik al-Adil saifuddin Abu Bakar bin Ayyub. Dari nama
Sifuddin inilah tentara salib memberi julukan Saphadin. Beliau putra Najmuddin
Ayyub yang merupakan saudara muda Salahuddin Yusuf al-Ayyubi.
Setelah kematian Salahuddin, Ia
menghadapi pemberontakan dari Izzuddin di Mosul. Ia juga menentukan siapa yang
berhak menjadi penguasa ketika terjadi perselisihan diantara anak-anak
Salahuddin Yusuf al-Ayyubi yaitu al-Aziz dan al-Afdal. Setelah kematian
al-Aziz. al-Afdal berusaha meduduki jabatan Sultan, akan tetapi al-Adil
beranggapan al-Afdal tidak pantas menjadi Sulatan. Akhirnya terjadilah
peperangan antara keduanya, al-Adil nberhasil mengalahkan al-Afdal dan beliau
menjadi Sultan di Damaskus.
Al-Adil merupakan seorang pemimpin
pemerintahan danpengatur strategi yang berbakat dan efektif.
3. Malik
Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)
Nama lengkap al-Kamil adalah
al-Malik al-Kamil Nasruddin Abu al-Maali Muhammad. Selain dipuja karena
mengalahkan dua kali pasukan salib ia juga dicaci maki karena menyerahkan
kembali kota Yerusalem kepada orang Kristen.
Al-Kamil adalah putra dari al-Adil.
Pada tahun 1218 al-Kamil memimpin pertahanan menghdapi pasukan salib yang
mengepung kota Dimyat (Damietta) dan kemudian menjadi Sulatan sepeninggal
ayahnya. Pada tahun 1219, Ia hampir kehilangan takhtanya karena konserpasi kaum
kristen koptik. Al-Kamil kemudian pergi ke Yaman untuk menghindari konspirasi
itu, akhirnya konspirasi itu berhasil dipadamkan oleh saudaranya bernama
al-Mu’azzam yang menjabat sebagai gubernur Suriah.
Pada bulan Februari tahun 1229 M,
al-Kamil menyepakati perdamaian selama 10 tahun denga Federick II, yang
berisi antara lain:
a.
Ia
mngembalikan Yerusalem dan kota-kota suci lainnya kepada pasukan salib
b. Kaum
muslimin dan yahudi dilarang memalsuki kota itu kecuali disekitar Masjidil Aqsa
dan Majid Umar.
Al-Kamil meninggal dunia pada tahun
1238 M. Kedudukannya sebagai Sultan digantikan oleh Salih al-Ayyubi.
1.1.3 Berakhirnya
dinasti Ayyubiyah
Runtuhnya Dinasti Ayyubiyah dimulai
pada masa pemerintahan Sultan As-Salih. Setelah As-Salih meniggal pada tahun
1249 M, kaum Mamluk mengangkati estri As-Salih, Syajaratud Durr sebagai
Sultanah. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Dinasti Ayyubiah di Mesir.
Medkipun demikian dinasti Ayyubiyah masih berkuasa di Suriah. Pada tahun 1260 M.
tentara Mongol hendak menyerbu Mesir. Komando tentara Islam dipegang oleh
Qutuz, panglima perang Mamluk. Dalam pertempuran di Ain Jalut, Qutuz berhasil
mengalahkan tentara Mongol dengan gemilang. Selanjutnya, Qutuz mengambil alih
Kekuasaan Dinasti Ayyubiyah. Sejak itu, berakhirlah kekuasaan Dinasti
Ayyubiyah.
Sejarah
Daulah Ayyubiyah
Daulah Ayyubiyah adalah sebuah daulah besar yang
berbentuk dinasti atau kerajaan, berkuasa di Timur Tengah antara abad ke-12
sampai abad ke-13. Namun daulah ini mungkin asing bagi umat Islam secara umum,
umat Islam lebih akrab dengan nama-nama kerajaan seperti Daulah Umayyah, Daulah
Abbasiyah, dan Daulah Utsmaniyah, bahkan nama daulah ini kalah tenar
dibandingkan sultan mereka sendiri, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Artikel ini
akan menyuplikkan sejarah singkat Daulah Ayyubiyah.
Asal
Penamaan dan Pertumbuhannya
Nama Ayyubiyah dinisbatkan kepada Najmuddin Ayyub bin
Syadi, ayah dari Shalahuddin al-Ayyubi, seorang Kurdi yang berasal dari Kota
Dvin, di Utara Armenia. Najmuddin Ayyub berasal dari suku Rawadiya yang
merupakan warga mayoritas Kota Dvin. Sebagian orang-orang Bani Ayyub menyatakan
bahwa mereka bukanlah orang Kurdi. Mereka mengklaim sebagai orang Arab
keturunan dari Bani Umayyah yang tinggal di Utara Armenia. Shalahuddin
al-Ayyubi sendiri membantah pendapat ini, dan menyatakan bahwa ia adalah orang
asli Kurdi bukan dari bangsa Arab.
Keadaan Kota Dvin yang semula nyaman bagi keluarga
Syadi berubah menjadi kota yang tidak bersahabat setelah ditaklukkan oleh
Turki. Hal ini memaksa Syadi membawa kedua putra; Najmuddin Ayyub dan Asaduddin
Syirkuh pindah menuju Tikrit, Irak.
Sesampainya di Tikrit, ia disambut oleh temannya,
Mujahid al-Din Bihruz, yang merupakan panglima militer Dinasti Saljuk untuk
wilayah Utara Mesopotamia. Kemudian Bihruz mengangkat Syadi menjadi amir di
wilayah Tikrit. Setelah Syadi wafat, putra tertuanya Ayyub menggantikan
jabatannya dan sang adik Syirkuh menjadi wakilnya. Mereka berdua berhasil
memimpin Tikrit dengan baik dan manarik simpati masyarakat.
Kepemimpinan mereka di Tikrit berjalan dengan baik dan
tidak memiliki konflik dengan pihak luar sampai terjadi insinden terbunuhnya
salah seorang pejabat Abbasiyah oleh Syirkuh. Menurut Syirkuh hal itu terjadi
karena perwakilan Abbasiyah itu hendak mengganggu seorang wanita dan ia
berusaha menolong wanita tersebut. Pihak Abbasiyah pun mengambil sikap dengan
menjadikan Ayyub dan Syirkuh sebagai buronan. Akhirnya kedua bersaudara ini
pindah dari Tikrit menuju wilayah kekuasaan Daulah Zankiyah. Di sana mereka mendapatkan
perlindungan dari Nuruddin az-Zanki.
Peta Kekuasaan Dinasti Ayyubiyah di Masa Keemasannya
Pada masa selanjutnya, ketika Daulah Zankiyah tidak
memiliki sosok pemimpin, mereka bergabung dan mengintegrasikan wilayah mereka
di bawah kekuasaan Shalahuddin al-Ayyubi. Kemudian Mei 1175 Shalahuddiin
ditetapkan sebagai penguasa Mesir, Maroko, Nubia, Arab Barat, Palestina, dan
Suriah Tengah oleh Khalifah Abbasiyah.
Penaklukkan Jerusalem
Pada 3 Juli 1187 Shalahuddin dan pasukannya mengepung
wilayah Tiberias, sementara Pasukan Salib sedang mengadakan persiapan untuk
menyerang Daulah Ayyubiyah. Mendengar hal itu, Shalahuddin langsung bertolak
menuju pusat pemerintahannya di Kafr Sabt –sebuah daerah di Utara Palestina-.
Ia meninggalkan pasukannya di Tiberias, dan memerintahkan pasukannya yang lain
untuk mencegat Pasukan Salib di wilayah Hattin. 4 Juli 1187, terjadilah
peperangan besar antara Shalahuddin dan pasukannya dengan tentara Salib, perang
yang terjadi di saat kaum muslimin berpuasa ini dikenal dengan Perang Hattin.
Pada perang ini, sebanyak 20.000 tentara Salib berhasil ditundukkan, di antara
mereka ada yang mati kehausan dan kepanasan. Sedangkan Raja Jerusalem yang
memimpin Pasukan Salib di perang ini, Guy de Lusignan, berhasil ditawan.
Shalahuddin adalah pria yang penuh adab dan keramahan, ia memperlakukan
tawanannya yang terhormat ini dengan penuh adab, tidak seperti yang digambarkan
oleh sebagian pihak. Adapun tawanan seperti Reginald dari Chaliton yang
berhianat dengan merusak perdamaian dieksekusi sebagai bayaran dari
perbuatannya. Demikian juga dengan seluruh ksatria gereja dan pasukan elit
Kristen, semua dieksekusi di depan khalayak.
Ilustrasi peperangan Pasukan Islam dengan Tentara Salib di Hattin tahun 1187
Kekalahan di Hattin telah memangkas gerak penyebaran
Pasukan Salib di Timut Tengah dan juga mengakibatkan Jerusalem kehilangan
sebagian pasukannya. Kondisi ini benar-benar dimanfaatkan Shalahuddin untuk
terus menekan Pasukan Salib. Terbukti, empat hari setelah perang itu,
Shalahuddin mengajak kaum muslimin bersatu memerangi tentara Salib dan mengusir
mereka dari tanah Palestina. Ia mengumpulkan semua pasukannya dari berebagai
desament menuju tanah suci Jerusalem dengan tujuan membebaskannya.
Pada bulan Agustus 1187, pasukan besar ini telah berhasil
menaklukkan Ramalah, Gaza, Bayt Jibrin, dan Laturn. Kemudian pada 2 Oktober
1187, barulah Shalahuddin bersama pasukannya berhasil membebaskan Jerusalem
setelah berunding dengan penguasanya, Balian dari Ibelin. Saat itu lantunan
adzan dari Masjid al-Aqsha menggantikan dentang lonceng gereja yang biasa
menggema di Jerusalem.
Perang Salib III
Kekalahan yang dialami Pasukan Salib di tahun 1187
menyisakan dendam dan keinginan untuk merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaan
mereka yang telah terlepas. Pada tahun 1189, Paus Gregory VIII menyerukan
Perang Salib III. Ia menyeru kerajaan-kerajaan besar Kristen di Eropa untuk
menyambut seruannya tersebut. Sekutu bersar Salib yang teridiri dari Frederick
Barbarossa dari Kerajaan Romawi, Philip Augustus dari Prancis, Richard The Lion
Hart dari Inggris, dan ditambah Guy de Lusignan yang menghianati janjinya
kepada Shalahuddin untuk tidak kembali memeranginya setelah Shalahuddin
membebaskannya dari tawanan, mereka semua bersatu dalam shaf Pasukan Salib
untuk menghadapi Shalahuddin al-Ayyubi dan umat Islam.
Perang terbesar dalam sejarah konflik Pasukan Salib dan Pasukan Islam pun mulai berkobar. Frederick Barbarossa menempuh jalur darat dan berhasil ditenggelamkan ketika menyeberangi sungai Cicilian, sebagian pasukannya kembali dan sebagian yang lain bergabung dengan pasukan Richard The Lion Hart.
Dalam peperangan yang berlangsung selama dua tahun
ini, Richard berhasil mengalahkan Shalahuddin al-Ayyubi. Akibat kekalahan itu
sebagian Pasukan Islam ditawan oleh Richard, dan ia meminta dua syarat jika
Shalahuddin menginginkan pasukannya dibebaskan; pertama, membayar tebusan
sebesar 200.000 keping emas, kedua, Pasukan Islam harus memperbaiki Salib Suci.
Namun syarat ini tidak dipenuhi oleh Pasukan Islam dan Richard membantai 2700
tawanan tersebut.
Apa yang dilakukan Richard tentu saja jauh berbeda
dengan yang dilakukan Shalahuddin ketika menaklukkan Jerusalem, Shalahuddin
membebaskan ribuan tawanan Jerusalem tanpa menciderai mereka sedikit pun,
ditambah lagi pembebasan tawanan lainnya atas permintaan Uskup Jerusalem. Tidak
hanya sampai di situ, bersamaan dengan tawanan Pasukan Islam yang dibunuh oleh
Richard, Shalahuddin malah membalasnya dengan membebaskan tawanan yang ada
padanya yang terdiri dari orang-orang miskin, para wanita dan anak-anak, tanpa
tebusan sama sekali.
Masa Keruntuhan
Kesultanan yang telah dibangun Shalahuddin dari Tigris
sampai ke Nil telah ia bagi-bagikan kepada ahli warisnya. Sayangnya tidak ada
satu pun dari mereka yang mewarisi keahliannya dalam memimpin. Anak-anaknya
al-Malik al-Afdhal yang menggantikan kedudukannya di Damaskus, al-Zahir
mewarisi tahta di Aleppo, dan si bungsu sekaligus kepercayaan Shalahuddin,
Shalah al-Adil yang menguasai Karak dan Syaubak, gagal meneruskan kejayaan
Daulah Ayyubiyah ini.
Kekuasaan mereka berhasil direbut oleh paman mereka
sendiri al-Adil antara tahun 1196-1199 M. Pada masa selanjutnya, kekuasaan
Dinasti dilanjutkan oleh anak-anak al-Adil dan kemudian dihancurkan oleh
pasukan Tartar.
SEJARAH BERDIRINYA DINASTI FATIMIYAH |
Sejarah Berdirinya Dinasti
Fatimiyah | Dinasti
Fatimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syiah dalam sejarah Islam. Dinasti ini
didirikan di Tunisia pada tahun 909 M. sebagai tandingan bagi penguasa dunia
muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu bani Abbasiyah. Dinasti
Fatimiyah didirikan oleh Sa’id ibn Husain, kemungkinan keturunan pendiri kedua
sekte Islamiyah. Berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah di awal abad kesembilan
ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah yang selama
ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di Baghdad
dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di bagian
timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah,
Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian barat, muncul dinasti
Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah.
Dinasti Fathimiyah adalah merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada
dan juga memiliki andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam. Sama
halnya pengutusan Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah menoreh sejarah Islam,
yang pada awalnya hanya merupakan bangsa jahiliyah yang tidak mengenal kasih
sayang dan saling menghormati.
Jikalau ditarik garis horizontal sejarah Islam, maka akan diketahuilah bahwa
dari sekian banyak sejarah peradaban Islam yang termaktub dalam buku-buku
sejarah peradaban banyak terjadi pertumpahan darah hanya demi menegak dan
mempertahankan kepemimpinan. Maka adalah sangat janggal jika uraian makalah ini
menganalisis persoalan sejarah dalam korelasi hubungannya terhadap konsepsi
teologi, karena substansi pembahasan makalah ini, bukan untuk melihat sejarah
masa lalu umat Islam yang mesti diapresiasikan oleh umat masa kini dalam rangka
menakar dogma teologis ke arah yang lebih luas adan universal.
B. Fase pendirian Dinasti Fathimiyah.
Dinasti Fathimiyah berdiri pada tahun 297 H/910 M, dan berakhir pada 567H/1171
M yang pada awalnya hanya merupakan sebuah gerakan keagamaan yang berkedudukan
di Afrika Utara, dan kemudian berpindah ke Mesir[3]. Dinasti ini dinisbatkan
kepada Fatimah Zahra putri Nabi Muhammad SAW dan sekaligus istri Ali bin Abi
Thalib Radhiallahu anhu. Dan juga dinasti ini mengklaim dirinya sebagai
keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Zahra
binti Rasulullah SAW. Namun masalah nasab keturunan Fathimiyah ini masih dan
terus menjadi perdebatan antara para sejarawan. Dari dulu hingga sekarang belum
ada kata kesepakatan diantara para sejarawan mengenai nasab keturunan ini, hal
ini disebabkan beberapa faktor diantaranya ;
Pertama, pergolakan politik dan madzhab yang sangat kuat sejak wafatnya
Rasulullah SAW.
Kedua, ketidakberanian dan keengganan keturunan Fatimiyah ini untuk
mengiklankan nasab mereka, karena takut kepada penguasa, ditambah lagi
penyembunyian nama-nama para pemimpin mereka sejak Muhammad bin Ismail hingga
Ubaidillah al Mahdi.
Dinasti Fatimiyah beraliran syiah Ismailiyah dan didirikan oleh Sa’id bin
Husain al Salamiyah yang bergelar Ubaidillah al Mahdi. Ubaidillah al Mahdi
berpindah dari Suria ke Afrika Utara karena propaganda Syiah di daerah ini
mendapat sambutan baik, terutama dari suku Barber Ketama. Dengan dukungan suku
ini, Ubaidillah al Mahdi menumbangkan gurbernur Aglabiyah di Afrika, Rustamiyah
Kharaji di Tahart, dan Idrisiyah Fez dijadikan sebagai bawahan.
Pada awalnya, Syiah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas, baru
pada masa Abdullah bin Maimun yang mentransformasikan ini sebagai sebuah
gerakan politik keagamaan, dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara
rahasia ia mengirimkan misionaris ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan
ajaran Syiah Ismailiyah. Kegiatan inilah yang pada akhirnya menjadi latar
belakang berdirinya dinasti Fatimiyah.
Silsilah Kekhalifaan Fatimiyah
- Al-Mahdi (909-934)
- Al-Qa’im (934-946)
- Al-Manshur (946-952)
- Al-Mu’izz (952-975)
- Al-Aziz (975-996)
- Al-Hakim (996-1021)
- Al-Zhahir (1021-1035)
- Al-Mustanshir (1035-1094)
- Al-Musta’li (1094-1101)
- Al-Amir (1101-1130)
- Al-Hafizth (1130-1149)
- Al-Zafir (1149-1154)
- Al-Fa’iz (1154-1160)
- Al-Adhid (1160-1171)
Pasca kematian Abdullah ibn Maimun, tampuk pimpinan dijabat oleh Abu Abdullah
al-Husain, melalui propagandanya ia mampu menarik simpati suku Khitamah dari
kalangan Berber yang bermukim didaerah Kagbyle untuk menjadi pengikut setia.
Dengan kekuatan ini, mereka menyeberang ke Afrika Utara dan berhasil
mengalahkan pasukan Ziyadat Allah selaku Penguasa Afrika Utara saat itu.
Syi’ah Islamiyah mulai menampakkan kekuatannya setelah tampuk Pemerintahan
dijabat oleh Sa’id ibn Husain al-Islamiyah yang menggantikan Abu Abdullah
al-Husain. Di bawah kepemimpinannya, Syi’ah Islamiyah berhasil menaklukkan
Tunisia sebagai pusat kekusaan daulah Aglabiyah pada tahun 909 M. Said
memproklamasikan dirinya sebagai imam dengan gelar Ubaidillaj al Mahdi.
Sa’id mengaku dirinya sebagai putera Muhammad al-Habib seorang cucu imam
Islamiyah. Namun kalangan Sunni berpendapat bahwa Sa’id berasal dari keturunan
Yahudi sehingga dinasti yang didirikannya pada awalnya disebut dinasti
Ubaidillah. Sementara Ibn Khaldun, Ibn al-Asir dan Philip K. Hitti berpendapat
bahwa Sa’id memang berasal dari garis keturunan Fatimah puteri Nabi Muhammad
SAW, yang bersambung garis keturunannya hingga Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Ubaidillah merupakan khalifah pertama daulah Fatimiyah. Ia memerintah selama
lebih kurang 25 tahun (904-934 M). Dalam masa pemerintahannya, al-Mahdi
melakukan perluasan wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika, meliputi Maroko,
Mesir, Multa, Alexandria, Sardania, Corsica, dan balerick. Pada 904 M,
Kahalifah al-Mahdi mendirikan kota baru dipantai Tunisia yang diberi nama kota
Mahdiyah yang didirikan sebagai ibukota pemerintahan
Di Afrika Utara kekuasaan mereka segera menjadi besar. Pada tahun 909 mereka
dapat menguasai dinasti Rustamiyah dan Tahert serta menyerang bani Idris di
Maroko. Pekerjaan daulah Fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan ummat
Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah binti Rasulullah dan istri dari Ali
bin Abu Muthalib.
Daulah Fatimiyah memasuki era kejayaan pada masa pemerintahan Abu Tamin Ma’Abu
Daud yang bergelar al-Mu’iz (953-997). Al-Mu’iz behasil menaklukkan Mesir dan
memindahkan pemerintahan ke Mesir. Pada masa ini rakyat merasakan kehidupan
yang makmur dan sejahtera dengan kebijakan-kebijakan untuk mensejahterakan
rakyatnya. Indikatornya adalah banyaknya bangunan fisik seperti Mesjid, Rumah
sakit, Penginapan, jalan utama yang dilengkapi lampu dan pusat perbelanjaan.
Pada masa ini pula berkembang berbagai jenis perusahaan dan kerajinan seperti
tenunan, kermik, perhiasan emas, dan perak, peralatan kaca, ramuan,
obat-obatan.
Kesuksesan lainnya adalah dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Besarnya
minat masyarakat kepada ilmu pengetahuan mendapat dukungan penguasa dengan
membangun Dar al-Hikmah pada tahun 1005 M dan perguruan tinggi al-Azhar (yang
sebelumnya adalah bangunan masjid), yang mengajarkan ilmu kedokteran, Fiqh,
Tauhid, Al-Bayan, Bahasa Arab, Mantiq, dan sebagainya.
C. Perkembangan dan kemajuan Dinasti Fatimiyah.
Pada masa pemerintahan Fatimiyah, persoalan agama dan negara tidak dapat
dipisahkan. Agama dipandang sebagai pilar utama dalam menegakkan daulah/negara.
Untuk itu, pemerintah Fatimiyah sangat memperhatikan masalah keberagamaan
masyarakat meskipun mereka berstatus sebagai warga negara kelas dua seperti
orang Yahudi, Nasrani, Turki, Sudan.
Menurut K.Ali, mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat, bahkan penuh
perhatian terhadap urusan agama non muslim sehingga orang-orang Kristen Kopti
Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan selain dari pemerintahan
Muslim. Banyak orang Kristen, seperti al-Barmaki, yang diangkat jadi pejabat
pemerintah dan rumah ibadah mereka dipugar oleh pemerintah.
Akan tetapi, Kemurahan hati yang ditampilkan Khalifah Fatimiyah terhadap orang
Kristen tidak urung menimbulkan isu negatif. Al-Mu’iz yang dikenal dengan
kewarakan dan ketaqwaannya diisukan telah murtad, mati sebagai orang Kristen
dan dikubur di gereja Abu Siffin di Mesir kuno. Namun, menurut Hasan, isu
tersebut tidak benar sebab tidak ada sejarawan yang menyebutkan seperti itu,
dan hanya cerita karangan (Khurafat) yang sengaja dienduskan oleh orang-orang
yang tidak senang kepadanya termasuk dari sisa-sisa penguasa Abbasiyah yang
sengaja ingin melemahkan kekuatan Fatimiyah.
Sementara itu, agama yang didakwahkan Fatimiyah adalah ajaran Islam, menurut
pemahaman Syi’ah Islamiyah yang ditetapkan sebagai mazhab negara. Untuk itu,
para missionaris daulah Fatimiyah sangat gencar mengembangkan ajaran tersebut
dan berhasil meraih pengikut yang banyak sehingga masa kekuasaan daulah
Fatimiyah dipandang sebagai era kebangkitan dan kemajuan mazhab Islamiyah.
Meskipun para Khalifah berjiwa moderat, akan tetapi terhadap orang yang tidak
mau mengakui ajaran Syi’ah Islamiyah langsung dihukum bunuh. Pada tahun 391 H
khalifah al-Hakim membunuh seorang laki-laki yang tidak mau mengakui
keutamaan/fadhilah Ali bin Abi Thalib, dan di tahun 395 H, al-Hakim juga
memerintahkan agar di mesjid, pasar dan jalan-jalan ditempelkan tulisan yang
mencela para sahabat.
Jelasnya peranan agama sangat diperhatikan sekali oleh penguasa untuk tujuan
mempertahankan kekuasaan. Buktinya, sikap tegas khalifah Fatimiyah terhadap
orang yang tidak mau mengakui mazhab Isma’iliyah dapat berupa apabila sikap
seperti dapat berakibat munculnya instabilitas negara. Al-Hakim misalnya, agar
terjalin hubungan yang baik dengan rakyatnya yang berpaham sunni, al-Hakim
mulai bersikap lunak dengan menetapkan larangan mencela sahabat khususnya
khalifah Abu Bakar dan Umar. Al-Hakim juga membangun sebuah madrasah yang
khusus mengajarkan paham sunni, memberikan bantuan buku-buku bermutu sehingga
warga Syi’ah ketika merasa senang sebab merasakan tengah hidup dikawasan sunni.
Sikap yang diambil para khalifah Fatimiyah tidak sekejam yang dilakukan
Abdullah al-Saffah yang berusaha mengikis habis siapa-siapa pengikut Bani
Ummayyah di awal masa kekuasaannya. Dalam hal ini para khalifah Fatimiyah
memberlakukan masyarakat secara sama selama mereka bersedia mengikuti ajaran
Syi’ah Isma’iliyah yang merupakan madzhab negara.
Ketidak senangan khalifah Fatimiyah kepada Abbasiyah tidak menunjukkan dalam
bentuk kekerasan. Hanya saja, Khalifah Fatimiyah melarang menyebut-nyebut bani
Abbasiyah dalam setiap khutbah jum’at dan mengharamkan pemakain jubah hitam
serta atribut bani Abbasiyah lainnya. Pakaian yang dipakai untuk khutbah adalah
berwarna putih.
Meskipun al-Mu’iz menuntaskan pemberontakan, akan tetapi ia akan selalu
menempuh jalan damai terhadap pera pemimpin dengan Gubernur dengan menjanjikan
penghargaan kepada yang bersedia menunjukkan loyalitasnya. Banyak diantara para
Gubernur yang bersedia mengikuti mazhab Isma’iliyah, padahal mereka sebelumnya
adalah Gubernur yang diangkat khalifah Abbasiyah. Sikap mereka ini juga
dilakukan oleh penganut Yahudi dan Nasrani. Mereka bersedia masuk Islam dan
menganut mazhab Isma’iliyah ketika mereka ditawarkan memegang jabatan tertentu
didalam pemerintahan.
Tindakan tegas dalam bentuk pemberian hukum bunuh baru dilakukan terhadap orang
yang menolak paham Isma’iliyah. Hanya satu peristiwa yang diambil tindakan
tegas terhadap orang yang tidak mau mengikuti faham Isma’iliyah, yaitu ketika
raja muda Zarida di Afrika yang bernama Mu’iz ibn Badis menghina dinasti
Fatimiyah dengan tidak menyebut-nyebut nama khalifah Fatimiyah al-Muntasir pada
saat khutbah jum’at melainkan menyebut-nyebut nama khalifah Abbasiyah. Tidak
diambinya tindakan tegas dikarenakan al-Muntasir lebih tertarik pada
pemberontakan Al-Bassasiri terhadap pemerintahaan Abbasiyah. Momen ini dinilai
al-Muntasir sebgai kesempatan untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Asia
Barat setelah Tughril menegakkan kekuasaan Abbasiyah di wilayah itu.
Dalam bidang administrasi pemerintahan tidak benyak berubah. Sistem
administrasi yang dikembangkan khalifah Abbasiyah masih tyerus saja
dipraktekkan. Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan
keduniaan maupun dalam urusan spritual. Ia berwenang mengangkat sekaligus
menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya. Selain itu sakralisasi khalifah yang
muncul di masa pemerintahan Abbasiyah masih tetap dipertahankan yang
indikatornya dapat dilihat dari gelar yang disandang para khalifah Fatimiyah
seperti al-Mu’iz dinillah, al-Aziz billah, al-Hakim bin Amrullah dan
sebagainya.
Ada tiga hal yang dapat disoroti mengenai perkembangan dan kemajuan yang
dicapai pada masa Dinasti Fatimiyah berkuasa yakni :
Kemajuan Administrasi Pemerintahan
pengelolaan negara yang dilakukan Dinasti Fatimiyah ialah denganmengangkat para
menteri. Dinasti Fatimiyah membagi kementrian menjadi dua kelompok. Pertama
kelompok militer yang terdiri dari tiga jabatan pokok
- Pejabat militer dan pengawal
khalifah
- Petugas keamanan
- Resimen-resimen
yang kedua adalah kelompk sipil yang terdiri atas
- Qadhi (Hakim dan direktur
percetakan uang)
- Ketua Dakwah yang memimpin
pengajian
- Inspektur pasar (pengawas
pasar, jalan, timbangan dan takaran)
- Bendaharawan negara (menangani
Bait Maal
- Kepala urusan rumah tangga raja
- Petugas pembaca Al Qur'an, dan
- Sekretaris berbagai Departemen
Selain pejabat pusat, disetiap daerah terdapat pejabat setingkat guberbur yang
diangkat oleh khalifah untuk mengelola daerahnya masing-masing. Administrasi dikelola
oleh pejabat setempat.
Penyebaran faham Syiah
Ketika Al Muiz berhasil menguasai Mesir, di kawasan ini berkembang empat
madzhab Fikih : Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hanbali, sedangkan Al Muiz sendiri
menganut madzhab Syiah. Dalam menyikapi hal ini Al Muiz mengangkat hakim dari
kalangan Sunni dan Syiah. Akan tetapi jabatan-jabatan penting diserahkan kepada
ulam Syiah sedangkan Sunni hanya menduduki jabatan rendahan. Pada tahun 973 M,
semua jabatan di berbagai bidang politik, agama dan militer dipegang oleh
Syiah. Oleh karena itu sebagian pejabat Fathimiyah yang Sunni beralih ke Syiah
supaya jabatannya meningkat. Disisi lain al Muiz membangun toleransi agama
sehingga pemeluk agama lain seperti Kristen diperlakukan dengan baik dan
diantara mereka diangkat menjadi pejabat istana.
Dari mesir
Dinasti Fatimiyah tumbuh semakin luas sampai ke Palestina, dan kemudian propaganda Syiah
Ismailiyah semakin tersebar luas melalui sebuah gerakan agen rahasia.
Perkembangan ilmu pengetahuan
dinasti Fatimiyah memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Fatimiyah
membangun masjid Al Azhar yang akhirnya di dalamnya terdapat kegiatan-kegiatan
pengembangan ilmu pengetahuan sehingga berdirilah Universitas Al Azhar yang
nantinya menjadi salah satu perguruan Islam tertua yang dibanggakan oleh ulama
Sunni. Al Hakim berhasil mendirikan Daar al Hikmah, perguruan Islam yang
sejajar dengan lembaga pendidikan Kordova dan Baghdad. Perpustakaan Daar al
Ulum digabungkann dengan Daar al Himmah yang berisi berbagai buku ilmu
pengetahuan. Beberapa ulama yang muncul pada saat itu adalah sebagai berikut:
- Muhammad al Tamimi (ahli Fisika
dan Kedokteran)
- Al Kindi (ahli sejarah dan
filsafat)
- Al nu’man (ahli hukum dan
menjabat sebagai hakim)
- Ali bin Yunus (ahli Astronomi)
- Ali Al Hasan bin al Khaitami
(ahli Fisika dan Optik)
Disamping itu kemajuan bangunan fisik sungguh luar biasa. Indikasi-indikasi
kemajuan tersebut dapat diketahui dari banyaknya bangunan-bangunan yang
dibangun berupa masjid-masjid, universitas, rumah sakit dan penginapan megah.
Jalan-jalan utama dibangun dan dilengkapi dengan lampu warna-warni, dalam
bidang industri telah dicapai kemajuan besar khususnya yang berkaitan dengan
militer seperti alat-alat perang, kapal dan sebagainya.
D. Puncak Kejayaan Dinasti Fatimiyah.
Sepanjang kekuasaan Abu Mansyur Nizar al-Aziz (975-996), Kerajaan Mesir
Senantiasa diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima dan
khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. Dibawah kekuasaannyalah
dinasti Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya. Nama sang khalifah selalu
disebutkan dalam khutbah-khutbah jum’at disepanjang wilayah kekuasaanya yang
berbentang dari Atlantik hingga laut Merah, juga di mesjid-mesjid Yaman,
Mekkah, Damaskus, Bahkan di Mosul. Kalau dihitung-hitung, kekuasannya meliputi
wilayah yang sangat luas.
Di bawah kekuasaannya kekhalifahan Mesir tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi
kekhalifaan di Baghdad, tapi bisa dikatakan bahwa kekhalifaan itu telah
menenggelamkan penguasa Baghdad dan ia berhasil menempatkan kekhalifaan
Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Meditera Timur. Al-Aziz
menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang dibangun menyaingi
istana Abbasiyah, musuhnya yang diharapkan akan dikuasai setelah Baghdad
berhasil ditaklukkan. Seperti pendahulunya ia melirik wilayah Spanyol, tetapi
khalifah Kordova yang percaya diri itu ketika menerima surat yang pedas dari
raja Fatimiyah memberikan balasan tegas dengan berkata, “Engkau meremehkan kami
karena kau telah mendengar tentang kami. Jika kami mendengar apa yang telah dan
akan kau lakukan kami akan membalasnya”.
Bisa dikatakan bahwa diantara para khalifah Fatimiyah khalifah Al-Aziz adalah
khalifah yang paling bijaksana dan paling murah hati. Dia hidup di kota Kairo
yang mewah dan cemerlang, dikelilingi beberapa mesjid, istana, jembatan, dan
kanal-kanal yang baru, serta memberikan toleransi yang terbatas kepada umat
Kristen, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sikap dan
prilakunya ini tidak pelak lagi dipengaruhi oleh wazirnya yang beragama Kristen
“Isa ibn Nasthir” dan isterinya yang berasal dari Rusia, ibu dari anak
laki-laki dan pewarisnya, Al-Hakim, saudara perempuan dari dua bangsawan
keluarga Melkis yang berkuasa di Iskandariyah dan Yerussalem.
Menurut Harun Nasution, dalam masa kejayaan ini tergores sejarah yang
menunjukkan kegemilangan Fatimiyah bahwa salah satu golongan sekte syiah yang
bernama Qaramithah (Carmatian) yang dibentuk oleh Hamdan Ibnu Qarmat di akhir
abad IX, menyerang Makkah pada tahun 951 M dan merampas Hajar Aswad dengan
mencurinya selama dua puluh tahun. Hal ini disebabkan mereka meyakini bahwa
hajar aswad adalah merupakan sumber takahayul. Gerakan ini menentang
pemerintahan Pusat Bani Abbas, namun Hajar Aswad ini akhirnya dikembalikan oleh
Bani Fathimiyah setelah didesak oleh kalifah Al Mansur pada tahun 951 M.
E. Masa Kemunduran dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah.
Gejala-gejala yang menunjukkan kemunduran dinasti Fatimiyah telah terlihat
Dipenghujung masa pemerintahan Al-Aziz namun baru kelihatan wujudnya pada masa
pemerintahan al-Muntasir yang terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan
adalah Fatimiyah pada masa pemerintahan al-Adid 567 H / 1171 M.
Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya daulah Fatimiyah dapat
diklarifikasikan kepada faktor internal dan eksterna:
Faktor Internal
Faktor internal yang paling signifikan dalam menghantarkan kemunduran daulah
Fatimiyah adalah di karenakan lemahnya kekuasaan pemerintah. Menurut Ibrahim
Hasan, para khalifah tidak lagi memiliki semangat juang yang tinggi seperti
yang ditunjukkan para pendahulu mereka ketika mengalahkan tentara Berber di
Qairawan. Kehidupan para khalifah yang bermewah-mewah merupakan penyebab utama
hilangnya semangat untuk melakukan ekspansi.
Selain itu, para khalifah kurang cakap dan memerintah sehingga roda
pemerintahan tidak bejalan secara efektif, ketidak efektifan ini dikarenakan
khalifah yang diangkat banyak yang masih berusia relatif muda sehingga kurang
cakap dalm mengambil kebijakan . Tragisnya mereka ibarat boneka ditangan para
wajir karena peranan wajir begitu dominan dalam mengatur pemerintahan.
Fenomena ini muncul pasca wafatnya al-Aziz, setelah al-Aziz wafat ia digantikan
puternya bernama Abu Mansur al-Hakim yang pada saat pengangkatannya masih
berusia 11 tahun. Kebijakan dalam pemerintahannya sangat tergantung kepada
keputusan Gubernur bernama Barjawan yang meskipun pada akhirnya dihukum
al-hakim karena penyalahgunaan kekuasaan.
Bukti lain ketidak cakapan khalifah adalah munculnya perlawanan orang Kristen
terhadap penguasa. Perlawanan ini muncul dikarenakan orang Kristen tidak senang
dengan maklumat al-Hakim yang dianggap menghilangkan hak-hak mereka sebagai
warga negara. Maklumat tersebut berisikan tiga alternatif pilihan yang berat
bagi orang Kristen. Masuk Islam, atau meninggalkan tanah air, atau berkalung
salib sebagai simbol kehancuran.
Setelah al-Hakim wafat, ia digantikan puteranya bernama Abu Hasyim Ali yang
bergelar al-Zahir. Pada saat pengangkatannya al-Zahir masih berusia 16 tahun
dan kebijakan pemerintahan berada ditangan bibinya bernama Siti al-Mulk,
sepeninggalan bibinya al-Zahir menjadi raja boneka ditangan para wajirnya.
Pengangkatan khalifah dalam usia relatif muda masih terus berlanjut hingga masa
akhir pemerintahan daulah Fatimiyah, bahkan khalifah ke tiga belas yang bernam
al-Faiz dinobatkan pada saat masih balita nanun keburu meninggal dunia sebelum
berusia dewasa. Sementara khalifah terakhir bernam al-Adid dinobatkan disaat
berusia sembilan tahun.
Faktor lainnya diperparah oleh peristiwa alam. Wabah penyakit dan kemarau
panjang sehingga sunagi Nil kering, menjadi sebab perang saudara. Setelah
meninggal Abu Tamim Ma’ad al Muntashir diganti oleh anaknya al Musta’li. Akan
tetapi Nizar, (anak Abu Tamim Ma’ad yang tertua) melarikan diri ke Iskandariyah
dan menyatakan diri sebagai khalifah. Oleh sebab ini fatimiyah terpecah menjadi
dua.
Selain itu, faktor internal lainnya sebagai penyebab kehancuran daulah
Fatimiyah adalah persaingan dalam memperoleh jabatan dikalangan wajir. Pada
masa al-Adid sebagai khalifah terakhir misalnya, terjadi persaingan antara Abu
Sujak Syawar dan Dargam untuk merebutkan jabatan wajir yang akhirnya dimenangkan
Dargam. Karena sakit hati, Syawar meminta bantuan Nur Al-Din al-Zanki untuk
memulihkan kekuasannya di Mesir, jika berhasil ia berjanji untuk menyerahkan
sepertiga hasil penerimaan negara kepadanya.
Tawaran ini diterima Nur al-Din, lalu ia mengutus pasukan dibawah pimpinan
Syirkuh dan keponakannya Salah al-Din al-Ayyubi. Pasukan ini mampu mengalahkan
Dargam sehingga Syawar kembali memangku jabatan wazir dan memenuhi janjinya
kepada Nur al-Din.
Perebutan kekuasaan ditingkat wazir ini merupakan awal munculnya kekuasaan
asing yang pada akhirnya mampu merebut kekuasaan dari tangan daulah Fatimiyah
dan membentuk dinasti baru bernama Ayyubiyah.
Faktor Eksternal
Adapun faktor eksternal yang menjadi penyebab runruhnya daulah Fatimiyah adalah
menguatnya kekuasaan Nur al-Din al-Zanki di Mesir. Nur al-Zanki adalah Gubernur
Syiria yang masih berada di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah. Popularitas
al-Zanki menonjol pada saat ia mampu mengalahkan pasukan salib atas permohonan
khalifah al-Zafir yang tidak mampu mengalahkan tentara salib.
Dikarenakan rasa cemburunya kepada Syirkuh yang memiliki pengaruh kuat di
istana dianggap sebagai saingan yang akan merebut kekuasaannya sebagai wazir,
syawar melakukan perlawanan. Agar mampu menguat kekuasannya, Syawar meminta
bantuan tentara Salabiyah dan menawarkan janji seperti yang dilakukannya
terhadap Nural-Din.
Tawaran ini diterima King Almeric selaku panglima perang salib dan melihatnya
sebagai suatu kesempatan untuk dapat menaklukkan Mesir. Pertempuran pun pecah
di Pelusium dan pasukan Syirkuh dapat mengalahkan pasukan salib.Syawar sendiri
dapat ditangkap dan dihukum bunuh dengan memenggal kepalanya atas perintah
khalifah Fatimiyah.
Dengan kemenangan ini, maka Syirkuh dinobatkan menjadi wazir dan pada tahun
565 H / 1117 M. setelah Syirkuh wafat, jabatan wazir diserahkan kepada Salah
al-Din Ayyubi. Selanjutnya Salah al-Din mengambil kekuasaan sebagai khalifah
setelah al-Adid wafat. Dengan berkuasanya Salah al-Din, maka diumumkan bahwa
kekuasaan daulah Fatimiyah berakhir. Dan membentuk dinasti Ayyubiyah serta
merubah orientasinya dari paham syi’ah ke sunni.
Khalifah Fatimiyah berakhir pada tahun 567 H / 1117 M. Untuk mengantipasi
perlawanan dari kalangan Fatimiyah, Salah al-Din membangun benteng bukit di
Muqattam dan dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan militer. Yang kini
bangunan benteng tersebut masih berdiri kokoh di kawasan pusat Mishral qadim
(Mesir lama) yang terletak tidak jauh dari Universitas dan juga dekat dengan
perumahan Mahasiswa Asia di Qatamiyah.
F. Penutup.
Daulah Fatimiyah merupakan salah satu imperium besar sepanjang sejarah Islam.
Pada awalnya, daulah ini hanya berupa dinasti kecil yang melepaskan diri dari
kekuasaan daulah Abbasiyah. Mereka mampu memerintah lebih dua abad sebelum
ditaklukkan oleh dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan Salah al-Din al-Ayyubi.
Dalam masa pemerintahannya, Dinasti
Fatimiyah sangat
konsern dengan pengembangan paham Syi’ah Isma’iliyah. Untuk kesuksesannya,
mereka mewajibkan seluruh aparat di jajaran pemerintahan dan warga masyarakat
untuk menganut paham tersebut. Upaya ini cukup berhasil yang ditandai dengan
banyaknya masyarakat yang bersedia menerimanya meskipun berasal dari non
muslim.
Kemunduran daulah Fatimiyah dikarenakan tidak efektifnya kekuasaan pemerintah
dikarenakan pra khalifah hanya sebagai raja boneka sebab roda pemerintah
didominasi oleh kebijakan para wazir sementara khalifah hanya hidup menikmati
kekuasaannya didalam istana yang megah.
Post a Comment