Lembaga Pendidikan Pada Masa Awal Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Bahasa Inggris lembaga disebut
institute (dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk
mencapai tujuan tertentu, dan lembaga dalam pengertian non-fiksi atau abstrak
disebut institution yaitu suatu sistemnorma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga
dalampengertian fisik disebut juga dengan bangunan, dan lembaga dalam
pengertiab non fisik disebutdengan pranata (Ramayulis, 2002:277). Secara
terminology menurut Hasan Langgulung, lembaga pendidikan adalah suatu system
peraturan yang bersifat mujarrad, suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode,
normanorma,ideologi-ideologi dan sebagainya, baik tertulis maupun tudak
tertulis, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik : kelompok
manusia yang terdiri dari individu individu yang dibentuk dengan sengaja
ataupun tidak, untuk mencapai tujuan tertentu dan tempattempat kelompok itu
melaksanakan peraturan peraturan.
Lembaga pendidikan Islam dapat pula
diartikan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam. Dari
definisi diatas dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan itumengandung
pengertian konkret berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian yang
abstrak,dengan adanya norma-norma dan peraturan peraturan tertentu, serta
penaggung jawab pendidikan itu sendiri. Pendidikan sebagai salah satu usaha
untuk membina dan mengembangkan seluruh aspekkepribadian harus berlangsung
secara bertahap. Oleh karena itu, banyak pakar yang pendidikanmemberikan arti
pendidikan sebagai suatu proses dan berlangsung seumur hidup, karenanyapula,
pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi juga diluar
kelasPendidikan tidak hanya terbatas pada usaha mengembangkan intelektualitas
manusia,melainkan juga mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia untuk
mencapai kehidupanyang sempurna. M.J. Adler mengartikanpendidikan adalah suatu
proses dimana semuakemampuan manusia dalam bakat dan kemampuan yang diperoleh
dapat dipengaruhi olehpembiasaan dan disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan
yang baik melaui sarana yangartistik serta dibuat dan dipakai oleh siapapun
untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri dalam mencapai tujuan yang
ditetapkan dengan kebiasaan yang baik ( A. Syalabi, 1973 : 36).
Pendidikan merupakan suatu aktivitas
yang memiliki tujuan untuk mengembangkan totalitas kepribadian manusia.
Pengembangan keperibadian ini diarahkan bagi terbentuknya keseimbangan antara
dimensi spritualitas dan intelektualitas pada individu-individu muslim, yang
bermuara pada pencapaian tujuan pendidikan Islam”'insan al¬kamil”, yaitu
mengabdi kepada Tuhan dan mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap
lingkungannya (Ali Ashraf, 1989:1-2).
Perintah Melakukan aktivitas
pendidikan yang diisyaratkan melalui al-Qur'an pada ayat dan surat pertama
diturunkan (al-Alaq: 1-5), mempunyai aspek yang sangat tinggi dan transparan
dalam pemahaman kependidikan, yakni perintah untuk membaca bagi Rasulullah, dan
perintah tersebut dilakukan secara berulang-ulang dengan menyebut bentuk
pengajaran yang disandarkan kepada Allah (Athiyah Al-Abrasyi: 1996:33).
Kemudian Rasulullah mengajak umatnya untuk melaksanakan pendidikan tidak saja
berhenti atau semata ajakan menyebarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga ajakan
untuk senantiasa mencari ilmu dan belajar secara terus menerus. (Athiyah Al-Abrasyi:
1996:35).
Proses pendidikan Islam pada masa
awal berjalan apa adanya tanpa terikat dengan aturan aturan kependidikan
tertentu. Namun bagaimanapun juga untuk proses pendidikan itu sendiri
dibutuhkan sebuah lembaga. Bagaimana bentuk dan. perkembangan lembaga
pendidikan Islam pada periode awal. Hal ini akan menjadi bahasan dalam tulisan
ini.
B.
Rumusan Masalah
Apa saja lembaga pendidikan pada
awal masa islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lembaga Pendidikan Pada Masa Awal
Islam
Dalam menelusuri bagimana sistem dan
perkembangan ilmu dalam Islam di Masa klasik (sejak masa Nabi Muhammad),
penting sekali dengan terlebih dahulu melihat keberadaan lembaga lembaga
pendidikan Islam yang ada, karena dengan melihat perkembangan lembagalembaga pendidikan
yang ada, setidaknya akan dapat melihat bagaimana system yang diberlakukan
dalam lembaga pendidikan tersebut.
Apalagi kondisi sosiokultural
masyarakat Arab pra-Islam terutama pada masyarakat Mekkah dan Madinah sangat
mempengaruhi pola pendidikan periode Nabi di Mekkah dan Madinah. Secara
kuantitas orang-orang yang masuk Islam pada Fase Mekkah lebih sedikit daripada
orang-orang yang masuk Islam pada fase Madinah. Hal tersebut diantaranya
disebabkan oleh watak dan budaya nenek moyang mereka sedangkan masyarakat
Madinah lebih mudah memasuki ajaran Islam karena saat kindisi masyarakat
khususnya Aus dan Khazraj sangat membutuhkan seorang pemimpin, untuk
melenturkan pertikaian sesama mereka dan sebagai pelindung dari ancaman kaum
Yahudi, disamping sifat penduduknya yang lebih ramah yang dilatar belakangi
kondisi geografis yang lebih nyaman dan subur. Sejak Nabi Muhammad diutus
menjadi Rasul dan diperintah untuk menyampaikan risalahnya kepada umat manusia,
pendidikan dan pengajaran merupakan kegiatan pertama yang dilakukan. Nabi.
Meskipun penyampaian risalah tersebut dalam bentuk kegiatan dakwah, tetapi
dakwah itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari masalah pendidikan dan
pengajaran, karena dakwah juga pada intinya adalah menanamkan nilai-nilai
keagamaan, dan mengajak manusia untuk melaksanakannya dalam kehidupan
sehari-sehari.
Pada tahap awal pendidikan dan
pengajaran yang dilakukan. Nabi ditujukan untuk keluarga dan sahabat-sahabat dekat beliau. Kegiatan
tersebut dilakukan secara sembunyisembunyi di rumah Arqam bin Abi al-Arqam yang
terletak di bukit Shafa. Menurut Syalabi, rumah Arqarn ini merupakan lembaga
pendidikan Islam pertama yang digunakan oleh Nabi. Di rumah Arqam, Nabi
mengajar para sahabat dan pengikut-pengikutnya tentang dasar-dasar ajaran agama
Islam serta menyampaikan wahyu yang diturunkan Allah kepada beliau. Di samping itu.
Nabi juga melakukan pembinaan terhadap pribadi-pribadi muslim agar menjadi
kader-kader yang kuat, tangguh serta berjiwa besar dalam menghadapi sernua
cobaan dan tantangan.
Dipilihnya rumah Arqarn sebagai
tempat pendidikan sangat terkait dengan keamanan dan ketenangan belajar. Rumah
ini agak terlindung dari penglihatan musuh, sehingga pembelajaran dapat
berjalan dengan tenang. Semua sahabat yang ikut belajar di sana dapat belajar
dengan baik dan menguasai pelajaran yang mereka terima dari Rasul. Hal yang
dipentingkan Nabi ketika itu hanya sebuah tempat belajar yang tenang, jauh dari
gangguan kafir qurasy.
Institusi pendidikan berikutnya yang
digunakan. Nabi sebagai pusat pembelajaran Islam
setelah rumah Arqarn adalah mesjid. Ketika Nabi hijrah ke Medinah
bersama umat Islam lainnya, hal yang pertama dilakukan Nabi adalah membangun
mesjid, dan mesjid tersebut terkenal dengan mesjid Quba. Mesjid Quba dijadikan
sebagai tempat beribadah, tempat berkumpul, tempat bermusyawarah, dan tempat
belajar.
Secara leksikal mesjid berarti
tempat sujud atau dengan kata lain tempat beribadah. Dalam arti luas mesjid
berarti bangunan tempat dirnana berkumpulnya orang orang Islam, tempat melakukan
shalat lima waktu secara berjamaah, tempat melakukan shalat jum'at dan tempat
berkumpulnya anggota lapisan masyarakat yang lebih luas, juga dapat digunakan
sebagai tempat melakukan shalat hari raya baik aidi al-adha maupun aidi
al¬fitri.
Dalam al-Qur'an ditemukan dua
penyebutan nama mesjid yaitu dalam surat al-Isra ayat
satu. Masjidil Haramdi Mekkah dan mesjid Al-Aqsha di Bait
al-Maqdis. Namun demikian, dalam penelusuran sejarah, mesjid yang dibangun
pertama kali oleh Nabi adalah mesjid Quba di
Medinah. Di mesjid inilah untuk pertama kalinya shalat Jum'at didirikan.
Pembangunan mesjid berkembang begitu cepat di berbagai daerah seiring dengan
penaklukan-penaklukan yang dilakukan umat Islam. Kegiatan Nabi membangun mesjid
ketika sampai di Medinah menjadi dasar kebijakan bagi para sahabat yang
menjabat khalifah sesudahnya dalam pengembangan ajaran Islam. Para khalifah selalu
menginstruksikan kepada panglima-panglima perangnya, agar membangun mesjid di setiap
daerah yang ditaklukan dan sekaligus menugaskan guru yang akan mengajar di
sana.
Mesjid mempunyai banyak fungsi,
namun salah satu fungsi mesjid yang sangat menonjol adalah sebagai pusat
kegiatan belajar mengajar. Pada tahun-tahun pertama lahirnya Islam, mesjid
menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Sebagai sarana tempat belajar
mesjid memberikan keleluasaan kepada setiap guru menghimpun orang-orang di lingkungannya
untuk membaca dan muzakarah al-Qur'an serta membahas persoalan-soalan agama.
Kelompok belajar yang selanjutnya terkenal dengan sebutan halaqah ini terus berkembang
tanpa belenggu, sekat-sekat dan ikatan struktur tertentu. Para peminat dan
perhati halaqah bebas memilih syaikh halaqah. Materi halaqah diseleksi
sedemikian rupa agar sesuai dengan kebutuhan halaqah. Pemberian status Syeikh
berawal dari sebutan yang diberikan pengikutnya. Belakangan seorang syeikh
dapat diangkat dan mempunyai otoritas sebagai ta'mir mesjid.
Dalam kapasitasnya menjadi tempat
bertanya dalam persoalan agama, lambat laun para
syeikh halaqah itu berkembang menjadi penafsir yang menentukan
hukum sebagai yang dinyatakan dalam al-Qur'an dan hadits dan membentuk dasar
bagi langkah berikutnya dari pertumbuhan pendidikan tinggi di daerah-daerah
kekuasaan Islam. Dapat dikatakan bahwa halaqah yang ada di mesjid-mesjid inilah
akal dari institusi pendidikan tinggi terstruktur, tumbuh dan berkembang dalam
dunia Islam.
Dari sekian banyak halaqah yang
cukup terkenal adalah halaqah yang dipimpin oleh Abdullah bin Abbas di sekitar
ka'bah yang melakukan aktivitas pada setiap hari Rabu dengan
materi halaqah, kajian tafsir. Sementara itu di antara peserta
halaqah yang dibentuk Rabi'ah dengan menyajikan materi fiqh terdapat nama Imam
malik. Demikian pula halnya Hasan Basri yang membentuk halaqah di Basrah dengan
materi teologi, banyak mendapatkan respon umat Islam.
Pada masa pemerintahan khalifah Abu
Bakar dan Umar bin Khattab bertambah satu lembaga pendidikan lagi yaitu Kuttab.
Kata "kuttab" berasal dari bahasa Arab mempunyai arti "maudhi'u
al ta'lim". Kuttab adalah tempat bagi anak-anak untuk bersekolah.
Sementara Syalabi memahami kuttab sebagai tempat pengajaran membaca dan menulis
yang kemudian dalam perkembangan berikutnya juga menjadi tempat mengajarkan al-Qur'an
kepada anak-anak.
Kelahiran institusi kuttab berkaitan
dengan kegemilangan orang-orang Arab muslim mendapatkan dan menguasai
wilayah-wilayah baru yang mempunyai akar kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang
relatif maju. Kehadiran institusi kuttab ini diharapkan mampu memberikan
sumbangsih bekal dan nilai lebih kepada generasi Arab berikutnya yang hidup
dalam masa transisi dari cara hidup yang nomaden dan isolatif menuju kehidupan
yang berperadaban.
Sebenarnya lembaga kuttab sudah ada
sebelum Islam lahir. Menurut Syalabi di dunia Arab sudah ada lembaga pendidikan
lain yang disebut dengan kuttab. Kuttab adalah institusi pendidikan, khususnya
tempat pengajaran membaca dan menulis. Pada masa pra Islam penduduk Mekkah
sudah ada yang pandai membaca dan menulis Arab, seperti Sufyan Ibn Umaiyah dan
Abu Qais Ibnu Abdi Manaf. Kedua orang ini belajar kepada Bisyr Ibn Abdul Malik yang
mempelajarinya di negeri Hirah. Dan ketika Islam datang, orang-orang Quraisy
yang pandai tulis baca sudah berjumlah 17 orang. Mereka adalah:
1. Umar bin Khattab
2. Usman bin Affan
3. Ali bin Abi Thalib
4. Abu Ubaidah bin Jarah
5. Thalhah
6. Yazid bin Abi Sufyan
7. Abu Huzaifah bin Utbah
8. Hathib bin Amr
9. Abu Salamah al-Makhzumi
10. Aban bin Said
11. Khalid bin Said
12. Abdullah al-Amity
13. Huwaithib bin Abdul Uzza
14. Abu Sufyan bin Harb
15. Muawiyah bin Abi Sufyan
16. Juhaim bin As-Shalat
17. Zaid bin Tsabit
Indikasi di atas menunjukkan bahwa
orang-orang Arab sebelum Islam bukanlah orang
yang ummi (buta huruf), mereka sudah banyak yang pandai tulis baca.
Karena itu juga agaknya gelar Nabiy al-ummiy yang diberikan kepada Nabi
sering dipertanyakan orang, karena budaya menulis dan membaca itu sendiri sudah
berkembang pada masyarakat Arab ketika itu. Anggapan ini semakin diperkuat lagi
dengan banyaknya tawanan perang Badr yang dimerdekakan dengan syarat mau
mengajar sepuluh orang umat Islam tulis baca.
Dengan demikian pada periode awal
pendidikan Islam sudah ada dua lembaga pendidikan yang berperan dalam
mengembangkan pendidikan pengajaran Islam. Hanya saja menurut Azyumardi Azra
aktivitas pendidikan yang diselenggarakan oleh umat Islam pada periode awal itu
belum menemukan bentuknya sebagai sebuah lembaga pendidikan formal. Pada masa
awal Islam ini institusi lembaga pendidikan bersifat informal dan mempunyai
kaitan erat dengan upaya dakwah; penyebaran dan penanaman dasar-dasar kepercayaan
dan ibadat Islam. Tetapi sungguhpun pada masa awal ini instutisi atau lembaga pendidikan
Islam bersifat informal, akan tetapi hal ini sudah merupakan transpormasi yang relatif
besar. Karena masyarakat Arab pra Islam tidak mempunyai system pendidikan
tertentu.
Lebih jauh Mahmud Yunus menyebutkan,
terdapat fenomena bahwa penyebaran al- Qur'an pada periode Mekkah dilakukan
dengan tulisan dan lisan (bacaan). Fakta dalam hal ini kasus masuk Islamnya Umar
bin Khatab yang berawal dari membaca catatan ayat yang ada di tangan adiknya
Fatimah binti Khattab dan mendengar untaian alunan suara Khabab bin Al- Arat
membacakan mushaf yang berisikan surat Thaha. Demikian pula halnya ketika Nabi Muhammad
saw hijrah ke Medinah terdapat sebelas orang yang pandai tulis baca. Tiga di antaranya
Abdullah bin Ubaiyah, Saad bin Ubadah dan Usaid bin Hudair.
Pada awalnya, perkembangan kuttab
sebagai institusi, terasa lambat dan eksistensinya tidak merata, terutama pada masa
pra Islam. Dan kuttab mulai memperlihatkan perkembangannya seiring dengan
keberhasilan ekspansi Islam ke luar wilayah Arab. Tercatat
sampai abad dua hijrah setiap desa yang berada di bawah wilayah
kekuasaan Islam, berdiri di
dalamnya sebuah kuttab, bahkan ada yang lebih banyak.
Dalam pandangan Philip K. Hitti,
kegiatan pembelajaran antara satu kuttab dengan kuttab lainnya cenderung tidak
ada perbedaan. Institusi kuttab itu hanya mengajarkan keterampilan baca tulis
dengan menggunakan al-Qur'an sebagai teks book pelajaran membaca dan
menggunakan syair sebagai sarana pelajaran menulis.
Sementara itu dalam menyoroti hal
yang sama, Syalabi berpendapat adanya pemisahan antara kuttab yang mengajarkan
keterampilan baca tulis sebagai kuttab sendiri dan jenis kuttab yang kedua yang
hanya mengajarkan al-Qur'an dan biasanya mengambil tempat
di rumah-rumah guru.
Dalam kaitan ini, Syalabi
berargumentasi dengan mengajukan data historis bahwa guru yang mengajarkan
keterampilan baca tulis pada awal Islam, umumnya terdiri dari kaum zimmi dan
tawanan:Perang Badr. Demikian pula halnya pada perkembangan berikutnya, para
guru yang mengajarkan baca tulis tetap mereka yang berasal dari
kalangan zimmi. Sedangkan
orang Islam sendiri yang sebenarnya juga potensial dengan
keterampilan ini lebih cenderung
menjatuhkan jenis pilihan pekerjaan di luar bidang ini yang
dianggap lebih penting (Syalabi,
1973:36).
Michael Stanton pun menyatakan bahwa
pada awal pertumbuhan Islam, silabus pendidikan dasar kuttab meliputi pelajaran
tulis baca dengan menggunakan puisi Arab sebagai referensi, sedangkan ditempat
lain diajarkan pendidikan agama dengan mengambil pegangan pada bacaan al-Qur'an
dan memahami kandungan artinya.
Untuk menyatakan dua jalur institusi
pendidikan tersebut membutuhkan rentang waktu yang cukup panjang. Jika
ditelusuri, paling tidak sampai dengan abad ke lima belas Masehi, masih
ditemukan bukti adanya dua jenis kuttab. Pendidikan agama mendapat tempat dalam
silabus kuttab manakala secara kebetulan seorang pengajar kuttab sekaligus
seorang yang hafal al-Qur'an. Meskipun demikian, untuk masa selanjutnya,
pendidikan agama sudah menjadi bagian penting dalam kurikulum kuttab, terlebih
lagi setelah tersebar luasnya salinan-salinan al-Qur'an.
Keberadaan kuttab di berbagai daerah
kekuasaan Islam, lahir tanpa adanya campur tangan penguasa. Mereka mengajarkan
al-Qur'an, membaca, menulis dan agama semata-mata
karena memandangnya sebagai ibadah dan pekerjaan mulia. Maka
tidaklah mengherankan, apabila pada masa itu banyak orang-orang yang berlomba-lomba
mendirikan kuttab. Adapun lokasi kuttab, mereka memilihnya di rumah para
pengajar kuttab itu sendiri dan sebagai alternative, kerapkali di antara mereka
menggunakan sarana tempat terbuka di luar rumah.
Melihat paparan di atas, dapat
dikemukakan bahwa institusi kuttab sebenarnya adalah warisan Arab sebelum
Islam. Oleh umat Islam, institusi ini dipelihara dan dikembangkan dan ditambah
dengan jenis kuttab bercorak khusus yaitu aktivitas pendidikannya lebih
ditekankan
pada pelajaran membaca al-Qur'an dan memahami artinya, Namun dalam
perkembangan berikutnya, lambat laun kedua jenis institusi kuttab ini menyatu.
Sebagaimana telah disampaikan
sebelumnya, pada masa-masa awal Islam telah berkembang dua jenis kuttab dengan
kegiatan yang berbeda. Untuk jenis kuttab yang sudah ada pada awal Islam dapat
dikategorikan sebagai kelanjutan dari institusi kuttab pra Islam. Sementara
bagi jenis kuttab yang berkembang pada masa berikutnya dapat digolongkan sebagai
hasil upaya kreatif umat Islam.
Untuk jenis yang pertama, kuttab
berfungsi utama mengajarkan kemampuan menulis
dan membaca dan kurikulumnya bermuatan mata pelajaran menulis dan
membaca dengan
menjadikan puisi-puisi Arab sebagai rujukan utama.
Dalam fungsi kuttab jenis ke dua,
fungsi utamanya adalah untuk menghafal al-Qur'an dan memahami artinya. Muatan
kurikulumnya adalah berdasarkan kepada hafalan al-Qur'an
sehingga dapat menghasilkan hafidz al-Qur'an yang berkualitas dan
qurra yang tangguh.
Untuk masa berikutnya, ketika
dikotomi kedua kuttab ini melebur, maka muatan kurikulumnya adalah kombinasi
dari keduanya dalam arti meliputi pengajaran membaca, menulis dan bidang ke
quranan.
Sejak awal kuttab juga bukan hanya
didominasi kaum pria, tetapi terdapat pula beberapa orang kaum wanita yang
pandai menulis dan membaca yaitu Hafsah (istri nabi), Ummu Kalsum bin Uqbah,
Aisyah binti Sa'ad, Asyifah binti Abdullah Al-Adawiyah, dan Karimah binti al-Miqdad
sedang Aisyah dan Ummu Salamah (istri Nabi ) hanya bisa membaca saja. Kemudian
orang-orang yang pandai tulis baca dijadikan oleh Rasul sebagai sekretaris
beliau dalam penulisan wahyu.
Terhadap kuttab terjadi sedikit
perbedaan antara Hasan Fahmi dan Syalabi, tetapi pendapat yang berbeda ini,
tentu hares dicari titik temunya kendatipun secara harfiah mempunyai arti yang
berbeda, dimana Asma Hasan Fahmi meletakan kuttab dalam konteks institusi
pendidikan yang aktivitasnya mengajarkan Al-Qur'an yang terjadi masa Abu Bakar dan
Umar. Sedangkan Syalabi meletakan dalam konteks institusi pendidikan yang aktivitasnya
mengajarkan membaca dan menulis. Pendapat Syalabi ini kelihatannya lebih kuat
ketimbang pendapat Hasan Fahmi, sebab Syalabi mampu menunjukan bukti bahwa sebelum
Islam datang penduduk Mekkah telah mampu baca tulis. Demikian juga Yunus mengatakan
bahwa sebagian orang Arab pra Islam telah mempunyai keterampilan membaca
dan menulis. Kepandaian membaca dan menulis ini kelihatan sekali terhadap
kasus tawanan perang Badr, dimana Nabi menetapkan bahwa kemerdekaan seorang tawanan
ditebus dengan mengajar sepuluh orang Islam membaca dan menulis. Dan memang
yang bekerja mengajar membaca dan menulis itu bukan orang-orang Islam. Kasus
ini menunjukan bahwa pada periode awal, pembelajaran tentang al-quran tidak
termasuk ke dalam kurikulum kuttab, karena tidak ada orang Islam yang mengajar
di kuttab-kuttab.
Tetapi bagaimanapun juga islamisasi
kuttab membawa transformasi yang cukup besar terhadap perkembangan pendidikan
Islam pada periode awal. Melalui kuttab pendidikan dan pengajaran Islam
berkembang ke berbagai daerah yang meliputi seluruh daerah taklukan Islam.
Apalagi kuttab tidak hanya menjadi urusan pemerintah, tetapi juga merupakan
urusan
individu para ulama yang punya komitmen dalam pengembangan
pendidikan Islam, sehingga
mereka menyediakan rumah mereka sebagai tempat belajar.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Orang-orang Arab sebelum Islam
bukanlah orang yang ummi (buta hurufl, mereka sudah banyak yang pandai tulis
baca. Karena itu juga agaknya gelar Nabiy al-ummiy yang diberikan kepada Nabi
sering dipertanyakan orang, karena budaya menulis dan membaca itu sendiri sudah
berkembang pada masyarakat Arab ketika itu. Anggapan ini semakin diperkuat lagi
dengan banyaknya tawanan perang Badr Yang dimerdekakan dengan syarat mau mengajar
sepuluh orang umat Islam tulis baca.
Mesjid dan kuttab merupakan lembaga
pendidikan awal Yang membawa perubahan perubahan radikal dalam penyebaran
Islam. Mesjid lebih lebih fokus kepada pembelajaran ilmu agama, sementara
kuttab lebih menitik beratkan pada alat yang digunakan untuk mempelajari dan
memahami agama tersebut. Walaupun pada akhirnya kuttab juga mengalami perkembangan
dengan menambahmuatan-muatan kurikulumnya dengan mengajarkan al-Qur'an dan
pengetahuan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Ashraf, Ali. 1989. Horison Baru Pendidikan Islam, Terj. Seri
Siregar, Jakarta: Pustaka
Firdaus
Azra, Azyumardi, 1994. Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan
Sains Sebuah Pengantar
dalam Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Terj Affandi11
Hasan Asyari, Jakarta: Logos
Fahmi, Asma Hasan, 1979. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta: Pustaka Al-
Husna
Gazalba, Sidi. 1970. Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam,
Jakarta: Pustaka Al-Husna
Stanton, Charles Michael. 1994, Pendidikan Tinggi dalam Islam,
terj Affandi- Hasan Asyari, Jakarta: Logos
Syalabi, Ahmad, 1973, Sejarah Pendidikan Islam, terj Sanusi
Latif, Jakarta: Bulan Bintang
Yunus, Mahmud. 1986. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta.
Post a Comment