Kajian Makna Di Kalangan Linguis Arab, Ibnu Abbas, Al- Zamakhsyari Dan Balaghiyyin | Kajian Balaghah

 


BAB I

PENDAHULUAN

A.                 Latar Belakang

Secara historis, kajian makna sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, dan Aristoteles merupakan orang pertama yang menggunakan istilah makna melalui definisinya bahwa kata adalah satuan terkecil yang mengandung makna. Dan suatu disiplin ilmu yang memabahas tentang makna ini disebut dengan sematik.

Semantik merupakan salah satu disiplin ilmu yang lebih menitik beratkan kajiannya pada bidang makna dengan berpangkal pada acuan dan simbol. Ilmu ini membahas secara mendalam tentang makna baik berupa lambang atau tanda yang menyatakan suatu makna, hubunga makna satu dengan makna yang lain, serta pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Semantik ini dalam bahasa Arab lebih dikenal dengan sebutan ­Ilm Al-Dalalah.

Ilmu ini tidak hanya menjadi fokus kajian para linguis saja, melainkan juga menjadi objek kajian para filusuf, sastrawan, psikolog, ahli fiqh dan ushul fiqh, dan lain sebagainya.

 Namun dalam pembahasan kali ini kita akan membatasi kajian makna menurut para linguis Arab, Ibnu Abbas, Al-Zamakhsyari dan juga Balaghiyyin.

 

B.                 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini, yaitu :

1.      Bagaimana kajian makna menurut Ibnu Abas?

2.      Bagaimana kajian makna menurur Al-Zamakhsyari?

3.      Bagaimana kajian makna menurut Balaghiyyin?

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 


 

A.            Kajian Makna Menurut Ibnu Abbas

a)      Ibnu Abbas dan Pandangannya tentang Sumber Bahasa

Nama lengkapnya adalah Abdullah bin ‘Abbas bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf al-quraisyi, terkenal dengan sebutan Ibnu Abbas. Beliau lahir di Mekkah sekitar 3 tahun sebelum Hijriah, dan wafat di Thaif pada tahun 68 H/687 M.[1]

Ibnu Abbas adalah salah seorang sahabat yang paling lama hidup setelah Rasulullah SAW wafat. Ketika Rasulullah wafat beliau baru berusia 13 tahun. Namun meski tergolong berusia muda, Ibnu abbas menjadi harapan Rasulullah SAW untuk mengemban tugas sebagai penjelas makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-qur’an kepada umat manusia.

Beliau pun diberi beberapa gelar karena ilmunya yang mendalam tentang Al-Qur’an seperti Habru hadzihi al-ummah (samudra umat ini) kerena kedalaman ilmunya, dan Tarjuman Al-Qur’an (Juru bicara Al-Qur’an) karena kepandaiannya menafsirkan al-Qur’an.

Keakuratan Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, karena ia menguasai syair-syair jahili sebagai bentuk bahasa Arab yang masih murni (fushha), sementara Al-Qur’an itu sendiri diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab yang jelas atau murni (fusha). Ibnu Abbas pernah berkata[2] :

الشعر ديوان العرب، فإذا خفى علينا الحرف من القران الذى أنزله الله بلغة العرب رجعنا إلى ديوانها، فلتمسنا معرفة ذلك منه

“Syar adalah ensiklopedi bangsa Arab, bila kita kesulitan memahami salah satu dialek Al-Qur’an yang diturunkan Allah dengan bahasa bangsa Arab, kembalilah kepada ensiklopedinya, pasti akan mendapatkan pengetahuan itu”

 

b)      Kajian Makna Kata-Kata Langka Dalam Al-Qur’an

Untuk mengetahui beberapa jumlah kata-kata langka (الألفاظ الغريبة)  dalam Al-Qur’an yang diteliti maknanya oleh Ibnu Abbas, Moh Matsna dalam bukunya merujuk kitab Al-Itqan karangan Al-Suyuti.

Al-Suyuti sendiri memulai paparannya mengenai al-alfazh al-gharibah (kata-kata langka) dan penjelasan maknanya dengan bentuk dialog yag terjadi antara para sahabat yang diwakili oleh Nafi’ ibn al-Azraq dengan Ibnu Abbas, dari awal sampai akhir sebagai berikut :

1.      Nafi       : Apa makna kata عزين  pada firman Allah :

 عن اليمين وعن الشمال عزين (المعارج 37)

Ibnu A : Artinya حلق الرفاق  (sekelompok kawan)

Nafi     : Apakah mana itu dikenal di kalangan bangsa Arab?

Ibnu A : Ya, perhatikan syair ‘Ubaid ibn al-Abrash sebagai berikut:

فجاءوا يهرعون إليه حتى يكونوا حول منبره عزين

“Mereka datang kepadanya tergopoh-gopoh, akhirnya mereka berkelompok disekitar mimbar”[3].

2.      انظروا إلى ثمره إذا أثمر وينعه (الأنعام 99)

ينعه = نضجه (matang)  . قال الشاعر :

إذا ما مشت وسط النساء تأودت   كما اهتز غصن ناعم النبت يانع

“Ketika ia berjalan di tengah-tengah wanita lain, ia ia membungkuk bagaikan ranting pohon yang keberatan buah yang matang”.

3.      يكاد سنا برقه يذهب بالأبصار (النور 43)

السنا = الضوء (sinar)

قال أبو سفيان بن الحارث :

يدعو إلى الحق لايبغى به بدلا يجلو بضوء سناه جاجى الظلم

“Ia mengajak kepada kebenaran dengan tidak pamrih imbalan, sinarnya tampak menerangi gelapnya malam”.

 

c)      Keautentikan Data Pendukung

Setelah diadakan penelitian kata-kata gharib (langka) yang maknanya dianggap sulit yang dihimpun oleh al-Suyuti dalam kitabnya hanya ada 191 kata. Kata-kata tersebut kemudian dijelaskan maknanya dengan menggunakan syair-syair jahili. Dari 191 bait syair yang dijadikan bukti kebenaran makna kata-kata gharibah tersebut, terdapat 77 bait syair yang tidak disebutkan nama penyairnya. Dan sebagian lainnya dinisbatkan kepada pujangga-pujangga kenamaan yang hidup di masa Jahiliyah atau yang hidu di dua masa, dan sebagian lagi dinisbatkan pada tokoh-tokoh terkemuka masyarakat Arab yang memiliki pengaruh yang besar.[4]

Standar keautentikan bukti kebenaran bahasa tersebut didasarkan pada kriteria yang telah disepakati oleh para linguis Arab yang menyatakan bahwa bahasa Arab itu dianggap fusha baik lafadz maupun maknanya apabila terdapat dua sebab. Pertama, bahasa Arab tersebut diucapkan oleh masyarakat arab pedalaman jazirah Arab sampai dengan pertengahan abad keempat hijriyah. Kedua, bahasa Arab tersebut diucapkan oleh masyarakt Arab kota sampai dengan akhir abad dua hijriyah.

Penelitian bahasa Arab fusha pun dilakukan dengan dua cara. Pertama, mengunjungi daerah pedalaman yang penduduknya masih murni belum bercampur dengan bangsa lain sehingga bahasanya pun murni, dan cara ini pun dilakukan oleh para pakar dan pemerhati bahasa pada masa sahabat dan masa bani Umayyah. Kedua, sengaja mendatangkan orang-orang pedalaman ke kota untuk dimintai keterangan tergantung bahasa dan kemudian dijadikan sumber kebahasaan, sedangkan cara kedua ini dilakukan oleh sebagian peneliti dan pemerhati bahasa pada masa Bani Abbas.

Masyarakat pedalaman pada masa itu memang menjadi sumber bahasa dan sastra Arab sekaligus. Meskipun para linguis Arab pun berbeda pendapat mengenai hal ini. Namun apa pun perbedaan tersebut, pemaknaan kata-kata gharib dalam Al-Qur’an oleh Ibnu Abbas tetap dianggap autentik, sebab beliau hidup pada masa sahabat dan kondisi masyarakat Arab dan bahasanya belum terkontaminasi oleh unsur luar.

Terdapat beberapa nama-nama penyair atau punjangga dan tokoh masyarakat yang dijadikan sumber oleh Ibnu Abbas dalam menafsirkan kata-kata gharib. Dan nama-nama penyair tersebut dikelompokan menjadi[5]:

a.       Penyair-penyair masa jahili

1.      Umru’ al-Qais

2.      Zuhair ibn Abi Sulma

3.      al-A’sya ibn Qais

4.      Labid ibn Rubaiah

5.      Tharafah ibn al-‘Abd

6.      ‘Antarah al-‘Abasi

7.      ‘Amru Ibn Kaltsum

b.      Penyair yang hidup pada dua masa (Jahili dan Islam) atau yang terkenal dengan sebutan الشعراء المخضرمون  

1.      Hasan Ibn Tsabit

2.      al-Nabighah al-Ja’diy

3.      Ka’ab ibn Zubair

c.       Tokoh-tokoh masyarakat Arab

1.      Abu Sufyan in al-Harist

2.      Hamzah ibn Abd al-Muthalib

3.      Abdullah ibn Ruwahah

4.      Abu Thalib ibn abd al-Muthalib

Ibnu Abbas diakui sebagai pelopor dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendekatan semantik atau ilmu makna, sehingga tafsirnya dianggap sebagai embrio lahirnya buku-buku yang mengkaji makna lafadz-lafadz Al-Qur’an yang gharibah (langka) dengan syair-syair Arab jahili. Metode kajian makna kata-kata gharibah dalam Al-Qur’an yang dipakai Ibnu Abbas adalah metode deskriptif (Sinkronik), sebab makna kata-kata Al-Qur’an yang dicari, sumbernya adalah syair-syair dari bangsa Arab jahiliyyah pedalaman pada kurun waktu tertentu. Hasil penelitian Ibnu Abbas bisa diterima para linguis Arab dan mufasir karena memenuhi kriteria keabsahan sumber bahasa Arab, dan kriteria periwayatan hadist yang disepakati ahli hadis.

B.            Kajian Makna Al-Zamakhsyari

a)      Sekilas Tentang Al-Zamakhsyari

Al-Zamakhsyari lahir pada tangal 27 Rajab 467H/1074M. Nama lengkapnya adalah Mahmud Ibn Umar ibn Ahmad al-Khawarizmi al-Zamakhsyari. Ia juga mendapat panggilan Abu al-Qasim, karena pernah bermukim lama di mekkah, ia juga terkenal dengan panggilan jar Allah (tetangga Allah).

Ia lahir pada masa kejayaan syltan Saljuk Malik Syah yang didukung oleh Perdana mentrerinyayang sagat populer, yaitu Nizam Al-Mulk. Seja menginjak usia sekolah al-Zamakhsyari sudah menyenangi ilmu pengetahuna dan kebudayaan yang menurut pendapatnya dapat menjanjikan masa depan yang lebih baik.

Kesenagannya terhadap ilmu pengetahuan mendorongnya untuk selalu berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah yang lain. Padahal kota yang merupakan tempat kelahirannya tersebut adalah salah satu tempat yang banyak dikunjungi orang untuk menimba ilmu pengetahuan. Al-Zamakhsyari meninggal pada tahun 1144M/538H. Di Desa Jurjaniyyah wilayah Khwarizm setelah kembali dari Mekkah.

Perhatiannya terhadap bahasa Arab tampak jelas ia tuangkan dalam kitab tafsirnya al-Kasysyaf. Dengan tidak ragu-ragu beliau memberi makna suatu kata dalam Al-Qur’an dengan makna yang dipakai dalam praktik kebahasaan dikalangan masyarakat Arab.

ثم يأتى من بعد ذلك عام فيه يغاث الناس وفيه يعصرون (يوسف : 49)

Al-Zamakhsyari menafsirkan kata يعصرون  dengan berbagai makna yang sesuai dengan bacaan yang berbeda-beda. Tafsiran-tafsiran tersebut sebagai berikut :

1.      Dibaca يَعْصِرُوْنَ atau تَعْصِرُوْنَ artinya mereka/kamu menyerah

2.      Dibaca يُعْصَرونَ atau يَعْصِرون  dengan makna mereka diselamatkan atau selamat, karena kata tersebut merupakan sinonim dari kata نجا ينجو atau أغاث يغيث

3.      Dibaca يعْصَرون  dari ungkapan أعصرت السحابة  sehingga maknanya mereka dituruni hujan[6]

 

b)      Objek dan Sumber Kebahasaan

Bahasa yang bisa dijadikan sumber kebahasaan menurut para linguis Arab klasik ada empat kelompok, yaitu bahasa Arab Al-Qur’an, bahasa Arab Hadis Nabi, bahasa Arab Syair, dan bahasa Arab Prosa.

Sebagaimana diketahui bahwa al-Zamakhsyari hidup pada abad keenam hijriyah (467-538 H) dalam masyarakat yang multi-etnis meskipun semuanya berusaha untuk menggunakan satu bahasa, yaitu bahasa Arab sebagai bahasa pergaulan dan bahasa Ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, objek kajian bahasa Arab yang digunakan al-Zamakhsyari tidak lagi bahasa lisan yang didengar langsung dari penutur suku Arab pedalaman seperti yang dilakukan oleh para pakar bahasa Arab klasik semasa al-Khalil, Sibawaih, dan al-Kisa’i.

Adapun sumber yang digunakan al-Zamakhsyari dalam mengkaji masalah makna atau semantik dapat diteliti dari beberapa hasil karyanya terutama yang membahas masalah kebahasaan, antara lain kitab Asas al-Balaghah, al-Mustaqsha fi Amtsal al-‘Arab, dan al-Mufashhal fi ‘ilm al-Lughah.

Dalam karya-karyanya al-Zamakhsyari menyebutkan tokoh-tokoh dan pujangga Arab dari kelompok pertama, kedua, ketiga dan keempat. Contoh[7]:  Kelompok pertama (Syu’ara Jahiliyyin), seperti ketika beliau membedakan makna kata خالفه dari kata خالف عنه, beliau menyebutkan syair dari Zuhair ibn Abi Sulma:

غفلت فخالفها السباع فلم تجد الاّ الاهاب تركنه بالمرقد

“Ia lupa, lalu ditantang oleh binatang-binatang buas lainnya, akhirnya ia hanya mendapatka kulit binatang yang mereka tinggalkan ditempat tidur”

Kelompok Kedua (Syu’ara Mukhadhramain), seperti ketika beliau menjelaskan kata أجناب dari ungkapan وهؤلاء قوم أجناب yang seakar kata dengan kata جنُب, beliau menyebutkan syair al-Khansa’ yang berbunyi :

يا عين فيضى بدمع منك تسكابا وابكى أخاكِ إذا جاورت أجنابا

“Hai mata, alirkan air matamu dengan deras, dan tangisilah saudaramu ketika engkau bertetangga dengan orang asing”.

Kelompok Ketiga (syuara’ muhadtsin atau muwalladin), seperti terlihat ketika beliau menerangkan makna kata بلل beliau mengambil bait syair Sibawaih :

إذا بلّ من داء به ظنّ أنه نجاوبه الداء الذي هو قاتله

“Ketika ia telah sembuh dari penyakit yang menimpanya, ia mengira bahwa ia telah selamat, padahal dalam dirinya masih ada penyakit yang mematikannya”

Kelompok Keempat (Syuara’ Islamiyyin) yaitu ketika beliau menjelaskan salah satu arti kata الموارد dengan الطرق seperti dalam ungkapan استقامت الموارد أى الطرق. Beliau menyebutkan satu bait syair Jarir sebagai berikut :

أمير المؤمنين على صراط إذا اعوجّ الموارد مستقيم

“Amir al-Mu’minin selalu berada pada jalan yang lurus ketika jalan-jalan yang lain itu bengkok”

Meskipun al-Zamakhsyari tidaklah fanatik pada Arab badawi dan beliau mengambil dari siapa saja asalkan dapat dipercaya kemampuan kebahasaannya, namun demikian beliau tetap mengutamakan keorisinilan bahasa Arab, dengan terlebih dahulu mencari dari kelompok pertama, kedua dan seterusnya.

c)      Metode Kajian al-Zamakhsyari

Terdapat tiga jenis metode yang biasa digunakan para linguis dalam mengkaji masalah bahasa pada umumnya dan makna atau semantic pada khususnya, tidak terkecuali dalam kajian bahasa Arab atau semantiknya. Ketiga metode tersebut adalah diakronik, sinkronik, dan komaratif.

Namun secara umum metode yang digunakan al-Zamakhsyari adalah metode deskriptif. Namun untuk memastikan bahwa metode yang digunakan oleh beliau murni deskriptif atau terdapat unsure historiknya, terlebih dahulu kita perlu mengemukakan cirri-ciri khusus metode deskriptif, diantaranya:

a.       Metode ini menggunakan criteria yang sama dalam menganalisis suatu struktur bahasa.

b.      Metode ini menjelaskan dan menginterpretasikan unsur-unsur bahasa atas dasar ketentuan yang jelas dan sederhana.

c.       Objektif dalam membuktikan kebenaran suatu asumsi.

d.      Bahasa sebagai objek yang dideskripsikan, bukan sebagai kumpulan qawa’id yang memberikan penilaian ini boleh atau tidak boleh (evaluatif subjektif).

e.       Kajian bahasa dibatasi pada suatu fase tertentu dari kehidupan suatu bahasa sebagai objek penelitian yang hasilnya dapat dideskripsikan.

f.       Memperhatikan ciri-ciri khusus tadi dan melihat fakta-fakta kegiatan kajian makna yang dilakukan al-Zamakhsyari, maka metode yang digunakannya dalam kajian ma’na bahasa Arab (semantik), mengarah pada metode deskriptif.

d)      Ruang Lingkup Kajian Semantik al-Zamakhsyari

Seperti halnya para linguis Arab sebelumnya, kajian bahasa al-Zamakhsyari pun tidak terbatas pada satu aspek bahasa saja. Sebagaimana terlihat dalam karya-karyanya beliau membahas semua aspek bahasa, baik segi ashwat (fonologi), sharf (morfologi), Nahw (sintaksis), ma’na (semantik), dan mu’jami (leksikologi).

Khusus dala bidang bahasa beliau tidak hanya membahas masalah nahw dengan berbagai masalahnya, tetapi juga membahas aspek makna dari berbagai ruang lingkup. Baik makna dalam tingkat fonem (bunyi), morfologi (sharf), dan sintaks (nahw).

Pertama, kajian semantik dalam lingkup bunyi. Al-Zamakhsyari memang tidak secara khusus membahas masalah ini, dan tidak secara tegas pula membahas masalah bunyi dalam bentuk fonem, stres (nabr), atau intonasi (tanghim). Namun secara tersirat ia mengakui bahwa fonem dapat membedakan makna kata.

Contohnya terlihat dalam kajiannya tentang ism al-zaman dan ism al-makan seperti[8] :

وما بنى من الثلاثى المزيد فيه والرباعى فعلى لفظ اسم المفعول كالمُدْخَل والمخرَج والمغار في قوله:

وما هي إلاّ في إزار وعلقة مُغار ابن همام على حىّ خثعما

(Perempuan itu hanya memakai kain dan baju pendek sampai batas pusat, sewaktu penyerangan Ibn Hammam terhadap kabilah ini)

Kata مُخْرَج  diatas menunjukkan makna tempat/saat keluar dan apabila harakat yang terdapat pada kata tersebut berubah, maka akan berubah pula maknanya. Misalkan مُخْرَج menjadi مُخْرِج artinya pun berubah dari semula yang dikeluarkan menjadi yang mengeluarkan. Terlebih lagi apabila perubahan tersebut terjadi pada huruf konsonan seperti :

خرج  x حرج

خرجx  خلج

خرجx  خرب

Dari contoh diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa baik harakat (vokal) maupun huruf konsonan diakui oleh al-Zamakhsyari sebagai satuan bunyi yang dapat membedakan arti suatu kata dengan kata lainnya.

Kedua, kajian makna dalam ruang lingkup morfologi (sharf). Dalam bukunya al-Mufashshal fi Ilm al-Lughah, beliau mengatakan :

-        وتفعّل يجىء مطاوع فعل، نحو كسرته فتكسر، وقطعته فتقطع، بمعنى التكلف نحو تشجّع وتصبّر وتاثى المزيد فيه والرباعى فعلى لفظ اسم المفعول كالمُدْخَل والمُخْرَg lingkup. naopada satu aspek bahasa saja. ideskrحلّم وتمرّأ

-        وتفاعل لما يكون من اثنين فصاعدا، نحو تضارب وتضاربوا ويجىء ليريك الفاعل أنه فى حالة ليس فيها نحو تغافلت وتعاميت وتجاهلت

-        وأفعل للتعدية فى الأكثر نحو أجلسته

Dari ungkapan diatas, secara tidak langsung al-Zamakhsyari menjelaskan bahwa terdapat fungsi makna morfem muqayyad atau zawaid dalam suatu kata, seperti :

-          كَسَرَ menjadi تكسَّر dengan tambahan ta’ dan syiddah sebagai morfem muqayyad yang mempunyai makna muthawa’ah (dengan sendirinya). Atau morfem muqayyad berupa ta’ dan syiddah dalam pola تفعّل   tersebut mengandung makna memaksakan diri seperti dalam contoh تشجّع، تصبّر، تحلّم  dan تمرّأ.

-          ضرب  menjadi تضارب  dengan tambahan ta’ dan alif sebagai morfem muqayyad yang mempunyai makna saling atau interaktif antara dua pihak atau lebih. Atau morfem muqayyad berupa ta’ dan alif tadi mengandung pengertian sikap pura-pura seperti dalam contoh : تغافلت، تعاميت  dan تجاهلت.

-          جلس menjadi أجلس  dengan tambahan hamzah qath’i sebagai morfem muqayyad yang mengandung ma’na transitif.

Ketiga, kajian ma’na dalam ruang lingkup sintaksis (nahw). Meski tetap membahas i’rab akan tetapi al-Zamakhsyari mengelompokkan awamil tersebut dan kemudian dijelaskan sesuai dengan fungsi dan ma’nanya dalam kalimat.

Contoh, ketika beliau menjelaskan fi’il ليس  yang biasa dalam buku nahwu disebutkan ليس من أخوات كان، ترفع الاسم وتنصب الخبر, beliau mengatakan :

وليس معناه نفى مضمون الجملة فى الحال تقول ليس زيد قائما الان ولا تقول ليس زيد قائما غدا

        Dalam ungkapan tersebut al-Zamakhsyari tidak menjelaskan ‘amal fiil ليس  sebagaimana kebiasaan para ahli nahwu, tetapi beliau menerangkan makna dan fungsinya dalam kalimat, yaitu menafikkan isi kandungan kalimat untuk masa sekarang (Present continuous tense).

        Satu hal yang penting dari kajian al-Zamakhsyari tentang makna dan semantik adalah kajian makna kata (كلمة) dan kalimat (كلام) dalam konteks. Kajian ini dapat ditelaah dalam kitabnya Asas al-Balaghah. Kitab ini adalah kitab kaus (mu’jam), sama seperti kamus-kamus bahasa arab lainnya. Hanya saja kitab ini memberikan gambaran makna dalam konteks, sehingga yang tertuang bukan makna secara mu’jami saja melainkan ma’na wadzifi juga.

Contoh :

دعم : مال حائطه فدعمه بدعامة، وادّعم الحائط على الدعامة: اتكأ عليها. ومن المجاز : هو دعامة قومه : سيدهم وسندهم.

Lafadz دعمة  yang berasal dari kata دعم makna asalnya atau hakikatnya adalah tiang seperti di contohkan diatas “dindingnya miring, lalu ditopang dengan tiang, dinding itu bersandar pada tiang”. Adapun makna majazi –nya seperti dalam contoh هو دعامة قومه “Dia adalah tiang (pemimpin) kaumnya”.

C.            Kajian Makna Menurut Balaghiyyin

a)      Kajian Makna Menurut Ibrahim Anis

Ibrahim Anis lahir dikota Cairo, mesir, pada tahun 1906 (1324 H) dan wafat pada 9 juni 1977, ia adalah linguis Arab dan peneliti linguistik. Ia adalah lulusan madrasah aliyah yang berfiliasi dengan darul ulum, setelah memperoleh gelar  sarjana  pada  tahun  1930  dari  darul  ‘ulum.  Pada  tahun  1939,  ia memperoleh gelar master dari Universitas di london, lalu gelar dokter di bidang studi bahasa semantik. Penelitian beliau terfokus pada fonologi, dialektologi, semantik, musikalisasi syair, sintaksis, dan morfologi. Pemikiran beliau tentang makna banyak dituangkan dalam bukunya yang monumental, yaitu Dalalah al- Alfazh.  Buku  Dalalah  al-Alfazh  oleh  ibrahim  Anis  merupakan  salah  satu sumber rujukan semantik Arab modern[9].

Bab Pertama, ibrahim anis mengawali dengan pembahasan tentang asal muasal tutur dalam bahasa Arab,  speech dalam bahasa Inggris). Dijelaskan bahwa menurut ulama Arab (pertengahan abad keempat) ada dua yaitu yaitu teori tauqifiyyah dan teori halahiyyah.

Kemudian pada bab berikutnya, Anis membedakan antara istilah:  اللفظdan الكلمة .  Ia memilih judul دلالة الألفاظ  karena kata yang dimaksud belum menunjukkan makna, maka di situlah fungsi semantik untuk memaknai kata- kata yang belum bermakna. Oleh karena itu, kata merupakan perangkat makna (أداة الدلااة). Makna yang dimaksud dapat berupa makna fonologi (الدلالة الصوتية), morfologis  (الدلالة الصرفية),  sintaksis  (الدلالة النحوية),  maupun  leksikal  ( الدلالة المعجمية), atau sosial (الدلالة الإجتماعية).

Menurut Anis hubungan makna dan kata dibagi menjadi tiga madzhab yang  berbeda.  Pertama  menurut  para  filusuf  yunani,  diantaranya  apakah hubungan itu alami (طبيعية), ataukah buatan ‘urf yang berlaku (عرفية). Yang kedua  menurut  linguis  Arab  yaitu  pendapat  Ibnu  Jinni,  menurutnya  ada hubungan  antara  kata-kata  yang di-isytiqaq-kan,  contoh  kata  جبر  seperti "مجرب"، "الجبر"، "الجبروت"، "جبرت"Lalu Ibnu Faris, menurutnya ada hubungan makna antara kata-kata berikut:

مرض-رمض-ضرم-ضمر-رضم-مضر

Adapun menurut kalangan modernis, seperti Jespersen, ia termasuk yang  menganut  pendapat  “ada  kesatuan/penyesuaian  antara  kata  dengan maknanya”, berbeda dengan De Saussure ia berpendapat bahwa hubungan kata dan makna adalah arbitrer, tidak terikat dengan logika atau sistem yang berlaku”. Menurut  De  Saussure,  kalaupun  ada  onomatope  (kata  yang menirukan bunyi tertentu). Berikutnya anis mengkaji tentang mencari inspirasi makna dari kata (استحياء الدلالة من الألفاظ),  menurut  penelitiannya  bahwa  makna  kata  dapat ditelusuri dari bunyi kata misalnya bunyi kasroh dan ya mad menunjukan benda yang ukuran kecil (صغر الحجم), sedangkan bunyi tafkhim seperti qof (ق), tha (ط), zha’ (ظ), dan kha’ (خ) menunjukkan benda yang berukuran besar (ضخامة الحجم).

Pada  bab  yang  lain  membahas  tentang  pemerolehan  makna  dan perkembangannya (اكتساب الدلالة ونموها),  Anis membagi pembahasan menjadi dua,  yaitu  anak-anak  (الأطفال),  dan  orang dewasa  (الكبار).  Pada  anak-anak, makna diperoleh dari beberapa fase, yaitu fase mengajak bicara bayi/balita (مرحلة المناعة),   fase  ini  anak  pertama  kali  mengenal  bunyi-bunyi  yang membentuk  kata,  lalu  fase  pemahaman  (مرحلة الفهم),  fase  ini  mendahului kemampuan anak untuk menirukan kata-kata (تقليد الألفاظ) dan mengucapkannya, lalu fase makna khusus (مرحلة الدلالات الخاصة) yaitu fase saat anak menangkap makna secara terbatas seperti ketika ia mendengar kata سرير (tempat tidur) maka gambaran yang melintas di pikirannya adalah tempat tidur bayi miliknya, hingga  berkembang  maknanya  melalui  proses  generalisasi  (عملية التعليم) menjadi tempat tidur kakak, tempat tidur bunda, dan seterusnya.

Adapun bagi orang dewasa, makna jauh berkembang dibandingkan pada masa anak-anak. Anis mengistilahkan makna pada masa anak-anak adalah “anak-anak makna (دلالة الألفاظ هي أطفال الدلالة). Makna berkembang mengikuti perbedaan individu. Ketika ditanya tentang apakah kata yang paling sedih dan yang paling gembira, Anis menjawab tidak ada. Yang ada adalah kata yang paling sedih dan paling gembira menurut kamus individu masing-masing. Oleh karena itu, Anis membahas manka kolektif dan makan individu pada bab berikutnya.

Pembahasan tentang makna bukanlah sesuatu yang statis melainkan dinamis atau berkembang seiring perkembangan zaman. Makna suatu kata pada dahulu berbeda dengan maknanya sekarang. Oleh karena itu, ada makna lama dan makna baru. Seperti kata طويل اليد,  dahulu bermakna dermawan (السخاء والجود),  tetapi  sekarang  bermakna  mencuri  (السارقا).  Adanya  makna denotatid  (الحقيقة)  dan  konotatif  (المجاز)  juga  menunjukan  bahwa  makna berkembang.

Menurut Anis ada dua faktor yang menjadikan makna itu berkemabang, pertama  karena  faktor  penggunaan  (الاستعمال )   dan  kedua  karena  faktor kebutuhan (الحاجة).  Jika kata tidak digunakan lagi maka kata tersebut akan punah, sementara jika terus-menerus digunakan maka makna kata tersebut akan berkembang. Begitu juga jika ada kebutuhan terhadap makna kata, maka makna akan terus berkembang. Perkembangan makna dapat berupa:

a)      Pengkhususan makna (تخصيص الدلالة) seperti kata شجرة yang dikhususkan mendaji شجرة البرتقال، شجرة التفاح، ... إلخ.

b)      Generalisasi makna (انحطاط الدلالة)  seperti penggunaan kata الوردا  untuk menunjukkan jenis bunga apa saja, lalu kata البحر untuk menunjukkan makna laut dan sungai.

c)      Penurunan makna (انحطاط الدلالة ) seperti kata الكرسي pada ayat وسع كرسيه السموات والأرض untuk menunjukkan makna العرش.

d)      Penaikan makna (رقي الدلالة) seperti kata رسول yang naik maknanya dari sekedar utusan (orang yang diutus oleh fulan) menjadi Rasulullah (utusan Allah SWT)

e)      Perubahan   bidang   penggunaan   (تغير مجال الاستعمال)   dengan   tujuan memperjelas makna (توضيح الدلالة ),  seperti yang dilakukan dalam bidang majaz balaghi seperti كثير الرماد untuk menunjukan makna الكرم, dan karena peningkatan taraf kognitif (رقي الحياة العقلية), seperti perkembangan makna nyata ke abstrak.

 

Pada     bab      selanjutnya,      Anis     membahas       peran   makna dalam penerjemahan. Ia mengatakan bahwa terjemah ilmu pengetahuan lebih mudah dari terjemah teks-teks sastra, karena makna makna istilah pengetahuan itu pasti, minim pertengahan makna, objektif, dan tidak sarat unsur emosional pribadi ketika menerjemahkan. Adapun terjemah kitab suci (bukan ilmiah dan juga bukan sastrawi) dibutuhkan dzauq seperti penutur bahasa asli. Adapaun contoh penerjemahan Al-Qur’an antara lain penerjemahan oleh George Sale, J.M. Rodwell, E.H. Palmer. Menurutnya, kesulitan-kesulitan dalam terjemah antara lain adalah teknik kalimat (هندسة الجملة\هندسة الجمل), keindahan kata dan makna kata dan batasan makna tersebut antara satu bahasa dan bahasa lain yang menyebabkan perbedaan dalam penerjemahan.

Pada bab berikutnya, anis menjelaskan bagian kata dari makna ( نصيب الألفاظ من الدلالة).  Ia menggambarkan bahwa ketidak mampuan membaca dan menulis (الأمية)  dikalangan bangsa arab berdampak kepada budaya bahasa mereka yaitu budaya sima’i (سماعي) dan karena kecerdasan mendengar yang utama  maka  mereka  menyukai  musikalitas  bahasa  sehingga  bahasa  Arab disebut  bahasa  yang  musikal  (اللغة الموسيقية),  dan  juga  berdampak  kepada munculnya taraduf, musytarak lafzhi, adh-dad. Sebagian ulama Arab merasa bangga dengan taraduf yang ada dalam bahasa Arab. Dan Anis mengakhiri bukunya  dengan  membahas  khazanah  kata  bahasa  Arab  atau  tentang perkamusan.

 

b)      Kajian Makna Menurut Tammam Hassan

Tammam Hassan ibn Omar ibn Muhammad Daud dilahirkan di Desa Karnak, Provinsi Qina, Mesir pada 27 Januari 1918. Beliau adalah pakar bahasa Arab terkemuka didunia Islam dan Internasional yang hidup dalam multizaman. Beliau mendedikasikan hidupnya untuk mengajar, meneliti, menulis, menerjemah memimpin lembaga pendidikan dan lembaga ilmiahdan berperan dalam forum nasional dan internasional. Beliau telah menulis lebih dari 10 buku (salah satunya adalah buku Al-Lughah Al-‘Arabiyyah: Ma’naha wa Mabnaha), lebih dari 50 artikel dan hasil penelitian, dan menerjemahkan minimal lima karya penting mengenai linguistic, sejarah, filsafat dan bahasa Inggris kedalam bahasa Arab.

Dalam buku Al-Lughah Al-‘Arabiyyah Ma’naha wa Mabnaha, Tammam Hasan menjembatasi pembahasan semantic dengan nahwu dan balaghah, khusunya ma’ani. Menurutnya, membahas ilmu nahwu tanpa membahas madhmun (مضمون)  sama dengan menyoal jasad tanpa roh.

Dalam kaitan ini, Tammam Hasan berpendapat bahwa ulama balaghah memandag bahasa sebagai fenomena sosial yang memiliki hubungan erat dengan budaya bangsa (ثقافة الشعب) dan untuk menganalisanya diperlukan medium konteks sosial (مواقف اجتماعية) atau disebut dengan maqam, sebagaimana menurut ulama balaghah "لكل مقام مقال" dan "لكل كلمة مع صاحبتها مقام" bahwa setiap konteks situasi punya teks yang sesuai dan setiap teks punya konteks sendiri. Maqam inilah yang menjadi konsentrasi semantik  deskriptif modern.

Berdasarkan maqam dan maqam inilah Tammam Hassan merumuskan bahwa :

المعنى الدلالي = المعنى المقالي + المعنى المقامي

        Tammam juga menjelaskan bahwa adakalanya sebuah teks yang terkenal (المقال المشهور) digunakan untuk kondisi darurat (المقام الطارئ) sebagaimana dalam istisyhad (استشهاد)  atau iqtibas (اقتباس) yaitu seperti istisyhad dengan ayat dan dengan jahiliyyah.

        Menurut Tammam untuk sampai pada makna yang komprehensif, harus menggunakan metode analisis (at-turuq al-tahliliyyah) dengan memadukan al-wadha’if (gabungan dari shawtiyyat, sharf, dan nahwu) dan alaqat ‘urfiyyah I’tibathiyyah/mu’jamiyyah (hubungan antara mufradat dengan makna-maknanya). Dari wadha’if tersebut dihasilkan makna wadzhifi dan dari ‘alaqat ‘urfiyyah dihasilkan makna mu’jami, dan kedua hal tersebut baru sampai kepada makna maqali maka perlu ditambah dengan ma’na ijtima’I sehingga sampai pada makna dalali. Contoh : Maqal "أهلا بالجميلة"  dapat menunjukkan pada berbagai maqam tergantung pada maqam yang dimaksud.

                        Terkait maqam yang dimaksud, ada dua kategori yaitu:

a.          Konteks individual/pribadi (maqaqif fardiyyah)

b.         Konteks sosial (maqamat ijtima’iyyah)

Tammam pun menambahkan semakin terperinci suatu konteks (maqam) maka semakin jelas makna semantis. Dan untuk membangun konteks maqam tersebut kita perlu merujuk dua hal pentin yaitu sejarah (tarikh) dan budaya (tsaqafah).

Sedangkan dalam kaitannya dengan budaya bangsa, Tammam mengklasifikasikan tiga maqam, yaitu :

1.      Peran individu di masyarakat (دور الفرد في المجتمع)

Contoh kalimat (إنه يشرب كثيرا) “dia minum banyak”, maknanya akan berbeda jika yang dimaksud dengan dia adalah anak kecil dan anak laki-laki dewasa. Anak kecil pastinya meminum air mineral biasa, sedangkan laki-laki dewasa bisa jadi meminum khamar.

Jadi konteks “Masyarakat (المجتمع) “ yang dimaksud bisa masyarakat keluarga, masyarakat diluar keluarga, masyarakat sekolah, dan sebagainya.

 

2.      Peran individu dalam performa (دور الفرد في الأداء)  

Contoh : seorang tokoh politik akan memilih untuk menggunakan kalimat "إن الشعب يريد" dibanding "نحن نريد" atau "أنا أريد" . Bila pada maqam jenis pertama cenderung kepada maqam berdasarka diksi (pilihan kata), maka maqam jenis kedua berdasarkan pemilihan kata ganti. Namun maqam jenis kedua ini pun tidak terbatas pada pemiliha kata ganti dan sejenisnya melainkan juga dari segi konteks tertentu, seperti teriakan dan dukungan ketika pertandingan olahraga, menyanyikan lagu disela-sela aktivitas dan lain sebagainya.

3.      Tujuan Akhir performa (غاية الأداء)

Terdapat dua jenis maksud suatu performa, yaitu dalam rangka interaksi (تعامل) dan dalam rangka ekspresi (إفصاح). Tammam pun mencontohkan 10 kategori ungkapan berdasarkan tujuan akhir performa (غاية الأداء), yaitu[10] :

1.      الخطاب العادي (pembicaraan biasa)

Contoh : يا سيدي العزيز، بعد إذنك، خد بالك، .... إلخ

2.      الودلع (perpisahan)

Contoh : مع السلامة، إلى اللقاء، ربنا يجمع فرقتنا، باي باي ...... إلخ

3.      الإلزام (penekanan)

Contoh : والله العظيم، هذا وعد، .... إلخ

4.      الاستقبال (penerimaan)

Contoh : أهلا وسهلا، الحمدلله على السلامة، فرصة سعيدة، ... إلخ

5.      الرجاء (harapan)

Contoh : سألتك يالله، والنبي، أرجوك، .... إلخ

6.      الترحم (belas kasih)

Contoh : الله يرحمه، رحمه الله، جعل الله مثواه الجنة، .... إلخ

7.      التعجب (kekaguman)

Contoh : ياسلام، يا حلاوة، يابن الإيه، .... إلخ

8.      التحية (salam)

Contoh : السلام عليكم، صباح الخير، نهاركم سعيد، سااخير، ..... إلخ

9.      التهنئة(ucapan selamat)

Contoh : مبروك، مبارك، ربنا يتمم بخير، والله فرحنا لك، ألف مبروك، ..... إلخ

10.  النصح (nasihat)

Contoh : أنصحك، اسمع كلامي، الدين النصيحة، أنا رأيي كذا، ..... إلخ

 

Menurut Tamam Hasan makna harfi saja tidak cukup, perlu adanya kolaborasi antara makna fungsional, makna leksikal, dan maqam atau menurut istilah Bronislaw Malinowski “Context of situation”. Dan ketika menyentuh ranah konteks maka menjadi kompleks karena bersinggungan dengan sejarah, budaya bagsa, kebiasaa, konteks individu, konteks sosial, aspek psikologis dan sosial. Konteks tersebut juga harus dilihat dari tiga segi seperti yang disebutkan diatas.


BAB III

PENUTUP


 

A.     Kesimpulan

Ibnu Abbas diakui sebagai pelopor dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendekatan semantik atau ilmu makna, sehingga tafsirnya dianggap sebagai embrio lahirnya buku-buku yang mengkaji makna lafadz-lafadz Al-Qur’an yang gharibah (langka) dengan syair-syair Arab jahili. Metode kajian makna kata-kata gharibah dalam Al-Qur’an yang dipakai Ibnu Abbas adalah metode deskriptif (Sinkronik), sebab makna kata-kata Al-Qur’an yang dicari, sumbernya adalah syair-syair dari bangsa Arab jahiliyyah pedalaman pada kurun waktu tertentu.

Secara umum metode kajian semantik yang digunakan al-Zamakhsyari yaitu metode deskriptif. Kajian bahasa beliau pun tidak terbatas pada satu aspek bahasa saja, hal ini dapat dilihat dari karya-karyanya yang membahasa semua aspek bahasa, bik segi ashwat (fonologi), sharf (morfologi), nahwu (sintaksis), ma’na (sematik), mu’jami (leksikologi).

Sedangka kajian makna menurut linguis Arab kontemporer, terdapat dua tokoh. Pertama Ibrahim Annis yang pemikirannya tentang makna banyak dituangkan dalam bukunya yang monumental, Dalalah al-Alfadz. Dalam buku tersebut membahas tentang asal muasal bahasa, perantara makna, jenis-jenis makna dan proses memahami makna, hubungan antara kata dan makna, mencari inspirasi maknadari kata dan seterusnya.

Kedua, Tammam Hasan. Beliau menjembatani pembahasan semantik dengan nahwu dan balaghah, khususnya ma’ani. Karena menurutnya membahas nahwu tanpa membahas madhmun sama seperti jasad tanpa roh. Selain itu beliau juga perhatian terhadap pandangan ulama balaghah tentang konsep teks dan konteks. Sehingga beliau merumuskan sebuah rumus tentang maqal dan maqam.  

           

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

            Dasuki, A. Hafizh. 1999. Ensiklopedi Islam. Cet.V. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Al-Zamakhsyari. tt. Al-Mufashshal fi Ilm al-Lughah. Beirut : Dar Ihya al-‘Ulum

Al-Zamakhsyari. 1989. Asas al-Balaghah. Cairo : Dar al-Fikr

Matsna, Moh. 2016. Kajian semantik Arab Klasik dan Kontemporer. Cet. ke-1. Jakarta: Prenadamedia Grup.

Ibn ‘Umar al-Zamakhsyari, Mahmud. tt. Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil Wujuh al-Ta’wil. Jilid IV. Cairo: Dar al-Fikr.

 



[1] A. Hafizh Dasuki,dkk., Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999) Cet. V, hlm 18.

[2] Ramadhan Abd al-Tawwab dalam Moh, Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2016) Cet. ke-1, hlm 96

[3] Jallaludin al-suyuti dalam Moh Matsna, Kajian Semantik ....... hlm 98

[4] ‘ali ‘abd al-wahid Wafi, Fiqh al-Lughah, (Cairo: Lahjah al-Bayan al-‘Araby, 1962), hlm 193

[5] Moh. Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2016) Cet Ke-1, hlm 105

[6] Mahmud ibn ‘Umar al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil Wujuh al-Ta’wil, (Cairo: Dar al-Fikr,tt), Jilid IV, h 310.

[7] Al-Zamakhsyari, Asas al-Balaghah, (Cairo: Dar al-Fikr, 1989), hlm 7

[8] Al-Zamakhsyari, Al-Mufashshal fi Ilm al-Lughah, (Beirut: Dar Ihya al-‘Ulum, tt) h. 6

[9] Moh. Matsna, Kajian Semantik ...... hlm 158

[10] Moh. Matsna, Kajian Semantik ........ hlm 175


Post a Comment

Previous Post Next Post

Terkini