KEDUDUKAN PARADIGMA
DALAM PENGEMBANGAN ILMU
Abstract
The emergence of new developments in the philosophy of
science that breaks the old established theories. The development of science
occurs in a revolution, not cumulatively as many scientists say. In this
regard, the position of the paradigm in the development of science is closely
related and the process of developing science is very necessary to be explored.
Meanwhile, in contemporary Islamic studies there has also been a movement to
open the door to ijtihad which is said to have been closed by suggesting new
methods of understanding the sources of the Qur'an and Sunnah to respond to new
developments caused by advances in modern science and technology. The results
of this study indicate that the idea of changing the
paradigm of science has greatly influenced the minds of Muslim intellectuals so
that they propose new methods of interpreting the Qur'an and Sunnah as the main
sources of Islamic studies.
Keywords: Paradigm, Paradigm Position, Science
Development
BAB
I
PENDAHULUAN
Menurut
penulis, paradigma akan selalu berubah karena setiap individu juga akan
berubah. Perubahan yang kecil pada diri sendiri akan dapat mengubah perilaku
kita, sedangkan perubahan yang besar dan bersifat radikal serta revolusioner
akan dapat menggeser suatu paradigma. Semua ini tentunya harus bermula dari hal
yang kecil, diri sendiri, saat ini dan kita sebagai individu adalah katalisator
dalam setiap perubahan besar yang akan nampak sebagai sebuah pergeseran
paradigma.
Tanpa
kita sadari, kita sudah berada dalam paradigma yang berbeda dengan pendahulu
kita atau mungkin nenek moyang kita. Hal ini tidak mungkin kita pungkiri karena
itulah realita yang ada. Demikian pula dengan ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan juga tidak luput dari pergeseran paradigma.
Pergeseran
paradigma Newton ke Einstein adalah sejarah sukses besar karena Einstein yang
memberikan kontribusi yang mengubah dunia sepanjang abad ke-20. Dari contoh
tersebut pasti kita akan berpikir mengenai apa sebenarnya “paradigma” tersebut dan “mengapa paradigma
selalu ada dalam realitas kehidupan.
Kemudian
pengembangan ilmu pengetahuan akan terjadi jika paradigma yang lama mengalami
krisis dan akhirnya orang mengembangkan paradigma yang baru yang sekiranya
lebih rasional dan logis. Pengembangan ilmu pengetahun pada dasarnya bertujuan
untuk mencapai kesempurnaan teori.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Paradigma
Kata paradigma berasal dari bahasa
Inggris yang merupakan kata serapan dari bahasa Latin yaitu paradigma yang berarti
suatu model atau pola. Juga dalam bahasa Yunani paradeigma yang berarti
membandingkan. Kata ini berasal dari para yang berarti di samping, di sebelah
dan deiknunai berarti memperlihatkan[1] . Sementara dalam Kamus
besar bahasa Indonesia paradigma diartikan sebagai model dari teori ilmu
pengetahuan dan kerangka berpikir.[2]
Bahwa yang memperkenalkan konsep
paradigmaa ini pertama kali sebagaimana dikatakan George Ritzer adalah Thomas
Kuhn dalam karyanya yang monumental The Structure of Scientific Revolution
(1962). Sebagaimana diuraikan oleh Ritzer, Ia mendefinisikan paradigma sebagai:
[3]
“A paradigm is a fundamental image of
the subject matter within a science. It serves to define what should be
studied, what question should be asked, how they should be asked, and what
rules should be followed in interpreting the answer obtained.
Gambaran dasar dari pokok-pokok
perhatian dalam sebuah ilmu. Ia berfungsi untuk mendefinisikan apa yang
seharusnya dikaji, pertanyaan apa yang mesti ditanyakan, bagaimana seharusnya
ditanyakan, serta aturan-aturan apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan
jawaban yang diperoleh.
The paradigm is the broadest unit
consensus within a science and serves to differentiate one scientific community
or sub community from another.
Paradigma merupakan unit konsensus
terluas yang terdapat dalam sebuah ilmu dan membantu untuk membedakan sebuah
komunitas ilmiah atau subkomunitas dari yang lainnya.
It subsumes, defines, and interrelate
the exemplars, theories, and methods and instruments that exist within it.
Paradigma juga menggolong-golongkan,
mendefinisikan, dan menghubungkan berbagai exemplar, teori-teori dan
metode-metode dan instrument-instrument yang terdapat dalamnya.
Dari definisi di atas, dapat kita
cermati hubungan antara paradigma dan teori. Teori merupakan bagian dari
paradigma yang lebih luas. Dengan ungkapan lain, sebuah paradigma dapat
mencakup dua atau tiga teori, maupun juga berbagai gambaran yang berbeda-beda
dari pokok perhatian, metode dan instrument serta eksemplar.[4]
Seiring dengan perkembangan waktu,
istilah paradigma dipopulerkan juga oleh Robert Friedrichs melalui bukunya yang
berjudul Sosiology of Sosiology (1970).[5] Menurutnya bahwa definisi
yang diberikan oleh Kuhn belumlah memberikan pengertian yang jelas apa yang
dimaksudkannya dengan paradigma. Karena seringkali Kuhn mendefinisikan konsep
paradigma dalam sejumlah cara berbeda. Oleh sebab itu, dalam upayanya
menganalisa perkembangan sosiologi dari perspektif paradigma, ia mencoba
merumuskannya sebagai berikut:
“Paradigma adalah sebagai suatu
pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok
persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajarinya (a fundamental image a
discipline has of its subject matter).[6]
Sementara itu, Masterman melihat
begitu banyaknya definisi yang diberikan oleh Kuhn, kurang lebih dua puluh satu
konsep, maka ia mencoba meredusirnya menjadi menjadi tiga tipe.[7] Pertama, Paradigma
metafisik. Paradigma metafisik ini adalah konsensus yang terluas dalam suatu
disiplin ilmu, yang membantu membatasi bidang (scope) dari suatu ilmu sehingga
dengan demikian membantu mengarahkan komunitas ilmuwan dalam melakukan
penyelidikan. Kedua, Paradigma sosiologi. Dalam edisi pertama bukunya Khun
mendiskusikan keanekaragaman fenomena yang tercakup dalam pengertian seperti:
kebiasaan-kebiasaan nyata, keputusan-keputusan hukum yang diterima, hasil–asil
nyata perkembangan ilmu pengetahuan serta hasil-hasl penemuan ilmu pengetahuan
yang diterima secara umum. Ketiga, Paradigma konstruk adalah konsep yang paling
sempit diantara ketiga tipe paradigma yang dikemukakan oleh Masterman.
Dicontohkannya pembangunan reaktor nuklir memainkan peranan sebagai paradigma
dalam ilmu nuklir.
Lebih jauh lagi, George Ritzer, dengan
mensintesiskan pengertian paradigma yang telah dikemukakan oleh Kuhn, Masterman
dan Friedrichs, ia mencoba merumuskannya secara lebih jelas dan terinci, yaitu:
“Pandangan yang mendasar dari ilmuwan
tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu
cabang ilmu pengetahuan (discipline).[8] Jadi sesuatu yang menjadi
pokok persoalan dalam satu cabang ilmu menurut versi ilmuwan tertentu.
Dari beberapa pengertian paradigma
tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam satu cabang ilmu pengetahuan
tertentu dimungkinkan memiliki beberapa paradigma. Artinya, terbuka lebarnya
kemungkinan kemunculan beberapa komunitas ilmuan yang masing-masing
berbeda-beda titik tolak pandangannya tentang apa yang (menurutnya) menjadi
pokok persoalan yang semestinya dipelajari dan diselidiki oleh cabang ilmu yang
bersangkutan. Bahkan dalam satu komunitas ilmuan tertentu, dimungkinkan pula
adanya beberapa sub-komunitas yang berbeda sudut pandangnya tentang apa yang
menjadi subject matter, teoriteori, metode-metode serta perangkat yang
dipergunakannya dalam mempelajari obyek studinya, tanpa perlu cabang ilmu
pengetahuan yang bersangkutan kehilangan karakteristik dan identitas ilmiahnya.[9]
B.
Kedudukan Paradigma Dalam Pengembangan Ilmu
Pengembangan ilmu
pengetahuan akan terjadi jika paradigma yang lama mengalami krisis dan akhirnya
orang mengembangkan paradigma yang baru yang sekiranya lebih rasional dan
logis. Pengembangan ilmu pengetahun pada dasarnya bertujuan untuk mencapai
kesempurnaan teori. Menurut Thomas Khun, ilmu dapat berkembang maju dalam
pengertian tertentu, jika ia tidak dapat mencapai kesempurnaan absolud dalam
konotasi dapat dirumuskan dengan definisi teori. Oleh karena itu ia memandang
bahwa ilmu itu berkembang secara open-endend atau sifatnya selalu terbuka untuk
direduksi dan dikembangkan.[10]
Menurut Karl R Popper, pergeseran
paradigm atau munculnya teori baru berawal dari adanya falsifikasi sedangkan
Kuhn menyebutnya dengan anomaly.[11] Ada beberapa hal yang
menyebabkan ilmu pengetahuan mengalami fals yaitu: pertama, teori dibuat dalam
suatu keadaan masa lampau yang sudah tidak lagi sesuai kedua, kedua, teori
dibangun lingkungan kehidupan masyarakat yang berbeda dengan lapangan, serta
ketiga, keterbatasan hasil pengamatan dalam membangun teori.[12]
Dalam pandangan Kuhn ilmu pengetahuan
adalah sebagai sebuah kegiatan menyelesaikan puzzle. Fungsi paradigma adalah
seperti menyediakan puzzle bagi para ilmuwan sekaligus menyediakan alat untuk
solusinya. Ia pertama kali menggunakannya dalam sains, dengan menunjukkan bahwa
penelitian ilmiah belum tentu menuju kepada kebenaran. Selanjutnya Kuhn
menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan berjalan dalam tiga fase :[13]
1. Tahap pra-ilmiah dan pra- paradigm
Fase ini umumnya ditandai oleh
beberapa teori yang tidak sesuai dan tidak lengkap hingga akhirnya salah satu
dari teori ini “menang.” Hal semacam ini berlangsung selama kurun waktu
tertentu sampai suatu paradigma tunggal diterima oleh semua, sehingga jalan
menuju normal science mulai ditemukan.
2. Tahap Sains normal
Dalam fase ini seorang ilmuwan
mengumpulkan banyak teori layaknya kepingan puzzle. Dalam sains normal, tugas
ilmuwan memperluas dan lebih membenarkan paradigma. Dalam wilayah ini bisa saja
terdapat banyak persoalan yang tidak terselesaikan dan kejanggalan, Kuhn
menyebut keadaan ini sebagai anomali. Jika anomali-anomali yang ada
terakumulasi dan menjadi akut, maka akan menimbulkan krisis dan meicu timbulnya
paradigma baru, inilah yang oleh Kuhn disebut sebagai “revolusi sains.”
3. Tahap Pergeseran paradigma
Pada periode revolusioner ini suatu
komunitas ilmiah menyusun diri kembali di sekeliling suatu paradigma baru,
memilih nilai-nilai, norma-norma, asumsiasumsi, bahasa-bahasa, dan cara-cara
mengamati serta memahami alam ilmiahnya dengan cara yang baru. Inilah proses
pergeseran paradigma (shifting paradigm), yakni proses dari keadaan sains
normal menuju sains revolusi. Cara pemahaman dan pemecahan persoalan model lama
ditinggalkan dan berganti dengan yang baru. Periode ini terjadi melalui
pergeseran paradigma ini berkali-kali yang disebut Ekstra Ordinary Science
(Sains Luar Biasa), seperti teori-teori baru menggantikan yang lama.
C.
Proses Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Dalam bukunya The
Structure of Scientific Revolution (1962), Kuhn menantang asumsi yang berlaku
umum bahwa perkembangan ilmu pengetahuan atau kemajuan ilmu pengetahuan itu
terjadi secara kumulatif. Menurut Kuhn, pandangan demikian adalah mitos yang
harus dihilangkan, karena sebenarnya perkembangan ilmu pengetahuan itu terjadi
secara revolusi.[14]
Maksud perkembangan ilmu pengetahuan
secara revolusi adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Ritzer dengan gambaran
berikut ini:
Paradigma
I - Normal Science - Anomalies (penyimpangan) - Crisis - Revolusi (perubahan) -
Paradigma II.[15]
Jadi dalam pandangan Kuhn bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan itu berawal dari fase pra-paradigmatik, yaitu
sebuah era dimana seperangkat teori, metode dan pegangan ilmiah lainnya belum
ditemukan. Era ini dapat diasumsikan berlangsung pada masyarakat primitif.
Dalam menyelesaikan problem-problemnya, mereka belum memakai prosedur ilmiah
tertentu yang merupakan hasil kreativitas para pendahulunya. Semua persoalan
diselesaikannya dengan apa adanya, tanpa seperangkat teori dan metode.
Sejalan dengan perputaran waktu,
jumlah penduduk semakin bertambah dan berkembang hingga generasi silih
berganti, maka muncullah teori-teori, metode-metode, fakta-fakta,
eksperimeneksperimen yang disepakati bersama dan menjadi pegangan bagi
aktivitas ilmiah para ilmuan. Inilah yang oleh Kuhn disebut sebagai paradigma.
Jadi paradigma menurut Kuhn sebagaimana yang dijelaskan di atas adalah untuk
membantu komunitas ilmiah dalam merumuskan apa yang seharusnya dipelajari,
pertanyaanpertanyaan apa yang mestinya ditanyakan, bagaimana semestinya
pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dan aturan-aturan apa yang harus diikuti
dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh.[16] Jadi paradigma merupakan
sesuatu yang esensial bagi penyelidikan ilmiah.
Munculnya paradigma ini bukan tanpa
proses. Kemunculannya melalui proses kompetisi antara berbagai macam teori yang
pernah muncul. Hanya teori yang terbaik saja yang akan dapat diterima sebagai
suatu paradigma oleh komunitas ilmiah. Walaupun begitu, sejarah membuktikan
bahwa tak ada paradigma yang sempurna dalam menyelesaikan problem ilmiah. Oleh
karena itu, penelitian akan tetap terus dilakukan. Dan suatu paradigma akan
membentuk suatu komunitas ilmiah tertentu.
Paradigma yang unggul dan menjadi
satu-satunya pegangan komunitas ilmiah, akan menjadi pondasi bagi munculnya
Norma Science. Norma science ini tentu saja hanya berasal dari satu paradigma
saja, jika terdiri dari banyak paradigma, akan berakibat tumpang tindih dan
tidak menjadi Normal Science lagi.
Semua aktivitas penelitian ilmiah yang
patuh dengan paradigma tertentu, walaupun dengan formulasi-formulasi dan
berbagai pengembangan, berarti ia masih berada di bawah naungan paradigma lama.
Itu artinya, ia masih belum keluar dari Normal Science lama, karena paradigma
lama masih dipergunakannya. Selama komunitas ilmiah masih menganggap bahwa
paradigma tertentu masih bisa menjawab problem-problem ilmiah, maka selama itu
pula Normal Science lama masih berdiri kokoh.
Dalam pandangan Kuhn, sejarah mencatat
bahwa tidak ada suatu paradigma yang sempurna menjawab semua problem ilmiah.
Problem-problem ilmiah yang tidak mampu diselesaikan oleh suatu paradigma oleh
Kuhn disebut dengan “anomali”. Jadi, menurut Kuhn “Anomaly appears only againts
the bacground the paradigm provided by the paradigm”. Anomali muncul karena
paradigma lama tidak mampu lagi menjawab problem-problem ilmiah yang muncul
belakangan. Sebagai contoh yang sering dikutip adalah analisis aristoteles
tentang gerak, atau perhitungan ptolemeus tentang kedudukan janji akan
keberhasilan yang dapat ditemukan dalam contoh pilihan dan belum lengkap. Ini
pun sifatnya masih terbatas, dan ketepatannya masih dipertanyakan. Dalam
perkembangan selanjutnya, secara dramatis, ketidakberhasilan teori Ptolemeus
betul-betul terungkap ketika munculnya paradigma baru dari Copernicus.
Contoh lain tentang hal ini, misalnya,
bisa dilihat pada bidang fisika yang berkenaan dengan teori cahaya. Mula-mula
cahaya dinyatakan sebagai foton, yaitu maujud mekanis kuantum yang
memperlihatkan beberapa karakteristik gelombang dan beberapa karakteristik
partikel. Teori ini menjadi landasan riset selanjutnya, yang hanya berumur
setengah abad ketika muncul teori baru dari Newton yang mengajarkan bahwa
cahaya adalah partikel yang sangat halus. Teori ini pun sempat diterima oleh
hampir semua praktisi sains optika, kemudian muncul teori baru yang bisa
dikatakan lebih "unggul" yang digagas oleh Young dan Fresnel pada
awal abad XIX yang selanjutnya dikembangkan oleh Planck dan Einstein, yaitu
bahwa cahaya adalah gerakan gelombang tranversal.
Jadi seiring dengan perkembangan fakta
ilmiah, problem yang tak dapat diselesaikan oleh paradigma itu semakin
menumpuk. Tumpukan anomali ini akhirnya berwujud menjadi sebuah krisis. Krisis
adalah suatu fase dimana paradigma lama tidak lagi mampu menyelesaikan problem
ilmiah baru. Normal-science lama dalam fase ini telah berada pada posisi
semakin jauh dan tak dapat didamaikan lagi dengan problem baru. Dan krisis
inilah yang akhirnya memicu penelitian selanjutnya. Penelitian-penelitian itu
menghasilkan satu paradigma baru (new paradigm). Dalam proses munculnya
paradigma baru itu, Kuhn menyebutkan adanya a paradigm war (peperangan
paradigm). Beberapa kandidat paradigma bertempur dan saling mengalahkan.
Biasanya para pendukung paradigma lama akan sulit menerima kehadiran paradigma
baru. Tapi, waktu akan berpihak memenangkan paradigma baru. Akhirnya, komunitas
ilmiah akan dapat menentukan satu paradigma yang valid dalam menjawab problem-problem
yang terakumulasi dalam krisis. Satu paradigma baru ini, akan mendasari Normal
Science yang baru.
Proses dari Normal Science lama
sehingga munculnya normal science baru, kemudian menyusul normal science yang
lebih baru lagi, dan seterusnya difahami oleh Kuhn sebagai proses yang tak
pernah berakhir. Dan inilah yang menghasilkan perkembangan ilmiah (scientific
progress). Oleh karena itu, Kuhn menyatakan “The successtive transition from
one paradigm to another via revolution is the usual devlopmental pattern of
mature science” (transisi yang berturutturut dari satu paradigma ke paradigma
yang lain lewat revolusi adalah pola perkembangan yang lazim dari ilmu yang
telah matang).
Degan demikian, perkembangan ilmiah
menurut Kuhn tidak berjalan akumulatif-revolusioner, tapi
non-akumulatifrevolusioner. Alasan Kuhn adalah bahwa perubahan paradigma lama
ke paradigma baru berlangsung secara radikal, yang satu mematikan yang lain.
Jadi, dalam pandangan Kuhn, kebenaran sains itu relatif dan sangat tergantung
pada faktor sosial berupa masyarakat ilmuan. Sains tidak bisa memberikan
kebenaran objektif dan satu-satunya. Ia hanya memberikan kebenaran tentatif dan
tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
D.
Relavansi Paradigma Dalam Kajian Islam
Jika konsep perubahan paradigma Kuhn
ini, kita aplikasikan dalam pendekatan pemikiran keislaman kontemporer, kita
dapat menemukan banyak sarjana Islam kontemporer menawarkan paradigma baru
dalam mengkaji teks al-Qur’an dan Hadist Nabi.
Mereka beranggapan bahwa paradigma klasik dan modern tidak mampu lagi menjawab
persoalan kontemporer yang begitu kompleks yang muncul silih berganti. Mereka
menawarkan banyak macam pendekatan baru dalam menyelesaikan persoalan kontemporer.
Kalau pada akhir era 1980 dan awal
1990-an, dan lebih-lebih tahun-tahun sebelumnya, pendekatan studi Islam dalam
ranah ulum al-din masih kental dengan corak normativitasnya.[17] Buku-buku ilmu kalam,
hukum Islam dan ilmu hadsit mewarnai corak pemikiran Islam kala itu. Pendidikan
agama (Islam) lebih menekankan pengajaran Islam sebagai sebuah doktrin, untuk
tidak menyebutnya sebagai dogma, yang tak terbantahkan. Kajian Islam secara
normatif tersebut, merupakan bagian panjang dari tradisi keilmuan Islam klasik.
Menurut Muhammad Abed al-Jabiri, bahwa
paradigma yang bekerja dalam kajian Islam normatif adalah paradigma Bayani.[18] Sebagaimana dimaklumi
bahwa studi Islam era klasik dikenal tiga paradigma, yaitu bayani, irfani, dan
burhani. Al-Jabiri mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Damanhuri, pengetahuan
bayani secara historis merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul
dalam pemikiran Arab. Sistem ini menjadi dominan dalam bidang keilmuan pokok
(indiginus) seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum (fiqh), serta ulum
al-Qur’an (interpretasi, hermeneutika, dan eksegesis), teologi dialektis
(kalam), dan teori sastra nonfilosofis.[19] Bayani sendiri diartikan
sebagai pengetahuan yang bertujuan untuk memahami atau menganalisis teks guna
menemukan atau mendapatkan makna yang terkandung dalam lafaz}. Dengan kata
lain, pengetahuan bayani dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafaz
dan ‘ibarah yang zahir pula; dan istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyyah
dan al-Qur’an khususnya.[20]
Pengetahuan bayani dalam bahasa
filsafat diartikan sebagai model berfikir yang didasarkan pada teks. Penentuan
arah kebenaran pada suatu kitab hanya didasarkan pada teks semata, sementara
akal pikiran hanya berfungsi sebagai pengawal makna yang terkandung didalamnya.
Makna yang terkandung dalam teks dikehendaki oleh, dan diekspresikan melalui
teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan antara makna dan lafaz.[21] Dengan kata lain, akal
hanya berfungsi sebagai alat pembenar atau justifikasi atas teks yang diapahami
atau yang diinterpretasi.
Wael B. Hallaq mengkategorikan
pengetahuan bayani ini sebagai pengetahuan yang bersifat literalisme religious
yaitu penafsiran yang bertumpu pada literal al-Qur’an
dan Sunnah dan tidak bisa dirubah-rubah. Misalnya penafsiran terhadap ayat
alQur‟an
tentang pembagian waris bagi laki-laki dua kali bagian perempuan. Pembagian
yang telah ditetapkan oleh ayat tersebut tidak bisa diotak-atik lagi karena
sebagaimana pandangan kaum Ash’ari
menyatakan bahwa kemampuan intelektual manusia dipandang tidak memadai untuk
menentukan hikmah dibalik wahyu Tuhan. Kearifan Tuhan, yang terhujam secara
mendalam dalam hukum-Nya, tidak mungkin dipahami manusia.[22] Oleh karena itu, manusia
hanya dapat menjalankan apa yang ditunjukkan oleh teks.
Jadi, menurut pemikir Islam
kontemporer, metode kajian Ushul fiqh klasik itu tidak lagi memadai untuk
menjawab tantangan zaman yang dihadapi umat Islam di berbagai tempat. Studi
Islam seyogyanya tidak lagi terbatas pada paradigma bayani, melainkan juga
harus dikembangkan dengan paradigma-paradigma lain. Amin Abdullah sekali lagi
menawarkan paradigma baru, yaitu paradigma keilmuan interkoneksitas yang lebih
modest (mampu mengukur kemampuan diri sendiri), humility (rendah hati) dan
human (manusiawi).[23] Paradigma ini menurutnya
lebih mampu menjawab tantangan zaman.
Sementara Abid al-Jabiri
mengetengahkan paradigma burhani yakni pengetahuan yang diperoleh dari indera,
percobaan dan hukum-hukum logika. Nasiri, merujuk al-Jabiri menjelaskan bahwa
Van Peursen berpendapat bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu dan panca
indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun bila keduanya bergabung, maka
timbullah pengetahuan sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama
dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Pendekataan ini
mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika deduksi, induksi,
abduksi, simbolik, proses, dan metode diskursif (batiniyyah) dan menjadikan
realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian.[24] Maka penggunaan
pendekatan sosiologi, antropologi, kebudayaan dan sejarah menjadi penting dalam
rangka memahami realitas kehidupan sosial keagamaan masyarakat.
BAB
III
Kesimpulan
Perkembangan
ilmu pengetahuan itu terjadi secara revolusioner bukan secara kumulatif
sebagaimana anggapan kebanyakan ilmuan ketika itu. Menurutnya gambaran
perkemabangan ilmu itu dimulai pada periode pra-paradigmatik. Pada periode
pra-paradigmatik ini, pengumpulan fakta atau kegiatan penelitian dalam bidang
tertentu berlangsung tanpa mengacu pada perencanaan atau kerangka teoritikal
yang diterima umum. Pada tahap pra-paradigmatik ini sejumlah pemikiran saling
bersaing, tetapi tidak ada satupun aliran yang memperoleh penerimaan secara
umum. Namun perlahan-lahan, salah satu sistem teoritikal mulai memperoleh
penerimaan secara umum, dan dengan begitu paradigma pertama sebuah disiplin
ilmu terbentuk. Dengan terbentuknya paradigma pertama, kegiatan ilmiah dalam
sebuah disiplin ilmu memasuki periode ilmu normal (normal science). Selanjutnya
muncullah anomali atau penyimpangan, jika penyimpangan tersebut tidak dapat
ditanggulangi atau diberikan jawaban yang memuaskan oleh para ilmuan dan
anomali itu terus menumpuk, maka akan terjadi krisis. Jika krisis terjadi, maka
muncullah revolusi dengan penemuan-penemuan baru yang pada akhirnya melahirkan
paradigm II. Sebagaimana diagram berikut ini: Paradigma I - Normal Science –
Anomali – Krisis - Revolusi – Paradigma II.
Dalam
kajian Islam, paradigma ini sangat berperan penting karena kajian keislaman
juga membutuhkan sentuhan pembaharuan dalam hal metodologi berfikir. Maka dari
itu, tidak heran muncul pemikirpemikir Islam kontemporer yang mendobrak
dominasi pemikiran klasik, dengan berbagai paradigma baru yang mereka tawarkan.
Daftar
Pustaka
Amin Abdullah, dalam Pengantar Buku,
Islam dalam Berbagai Pemacaan Kontemporer, ed. Tholhatul Choir, Ahwan Fanani
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
Amin Abdullah, Islamic Studies di
Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif
Interkonektif, Cet.. III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012)
Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern
(Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), 16.
Penjelasan serupa dapat dilihat dalam Zainuddin Maliki, Narasi Agung Tiga Teori
Sosial Hegemonik (Surabaya: Lpam, 2003)
Damanhuri,
Ijtihad Hermeneutis (Yogyakarta: IRCiSOD, 2016)
George Ritzer, Sosiologi Ilmu
Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada: 2013)
George Ritzer, Teori Sosiologi dari
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmoder, Terj.Saut Pasaribu dkk
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 1151. Lihat juga, Umbo Upe, Tradisi Aliran
dalam Sosiologi Dari Filosofi Positif ke Post Positivistik (Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2010)
KKBI
online diakses pada tanggal 14 maret 2022 pada pukul 07.35
Kuhn, Thomas S, (terj) The Structure
of Scientific Revolutions, (PT Remaja Rosdakarya, Bandung: 1962)
Muhammad „Abid al-Jabiri, Bunyat
al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Naz}mi al-Ma’rifah fi
al-Thaqafah al-‘Arabi (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-„Arabi, 1993)
Popper, Karl R, The Logic Scientific
Discovery, (New York: Basic Book, 1959)
Sri Issundari, “Pengembangan Ilmu
Pengetahuan dan Pengaruhnya Terhadap Pergeseran Paradigma Diplomasi Dalam Studi
Hubungan Internasional”, Jurnal Interdependence, Vol.5 No.1 (Januari-April
2017)
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum
Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000)
Wikipedia Ensiklopedi Bebas, diakses
pada tanggal 14 maret 2022. Pukul 07.30 Wib
[1] Wikipedia Ensiklopedi Bebas, diakses
pada tanggal 14 maret 2022. Pukul 07.30 Wib
[2]
KKBI online diakses pada tanggal 14 maret 2022 pada pukul 07.35
[3]
George Ritzer, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Terakhir Postmoder, Terj.Saut Pasaribu dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014),
1151. Lihat juga, Umbo Upe, Tradisi Aliran dalam Sosiologi Dari Filosofi
Positif ke Post Positivistik (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2010), 50
[4]
Exemplar adalah beberapa karya ilmiah tertentu yang menjadi sebuah model bagi
semua karya lain yang mengikuti mereka. George Ritzer, Teori Sosiologi…, 1151.
Atau Watson dan Cruk (1968) menjelaskan exemplar sebagai hasil penemuan ilmu
pengetahuan yang diterima secara umum.
[5]
Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), 16.
Penjelasan serupa dapat dilihat dalam Zainuddin Maliki, Narasi Agung Tiga Teori
Sosial Hegemonik (Surabaya: Lpam, 2003), 15-16.
[6]
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada: 2013), 6.
[7]
George Ritzer, Sosiologi, 5-6
[8]
George Ritzer, Sosiologi, 7.
[9]
George Ritzer, Sosiologi, 7.
[10]
Kuhn, Thomas S, (terj) The Structure of Scientific Revolutions, (PT Remaja
Rosdakarya, Bandung: 1962), 58.
[11]
Kuhn, Thomas S, (terj) The Structure of Scientific Revolutions, 67.
[12]
Popper, Karl R, The Logic Scientific Discovery, (New York: Basic Book, 1959),
34.
[13]
Sri Issundari, “Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Pengaruhnya Terhadap
Pergeseran Paradigma Diplomasi Dalam Studi Hubungan Internasional”, Jurnal
Interdependence, Vol.5 No.1 (Januari-April 2017), 32.
[14] George
Ritzer, Sosiologi Ilmu, 4.
[15] George
Ritzer, Sosiologi Ilmu, 4. Lihat juga, Umbo Upe, Tradisi Aliran, 51.
[16] George
Ritzer, Sosiologi Ilmu, 126-127.
[17]
Dalam hal ini, Amin Abdullah membedakan tiga ranah kajian Islam, yaitu
ulumuddin (ilmu-ilmu Agama Islam), al-Fikr al-Islamy (pemikiran Islam) dan
Dirasah Islamiyah (Islamic Studies/Kajian Islam). Amin Abdullah, dalam
Pengantar Buku, Islam dalam Berbagai Pemacaan Kontemporer, ed. Tholhatul Choir,
Ahwan Fanani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), v.
[18]
Amin Abdullah, dalam Pengantar Buku, Islam, vi.
[19]
Damanhuri, Ijtihad Hermeneutis (Yogyakarta: IRCiSOD, 2016), 72-73.
[20]
Muhammad „Abid al-Jabiri, Bunyat al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyyah
Naqdiyyah li Naz}mi al-Ma’rifah fi al-Thaqafah al-‘Arabi (Beirut: al-Markaz
al-Thaqafi al-„Arabi, 1993), 62.
[21]
Muhammad „Abid al-Jabiri, Bunyat, 62. Lihat juga Nasiri, Kawin Misyar
(Pandangan Kiai NU tentang Praktek Kawin Misyar di Surabaya) Disertasi Program
Pascasarjana IAIN Surabaya 2012, 61.
[22]
Muhammad „Abid al-Jabiri, Bunyat, 62.
[23]
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
IntegratifInterkonektif, Cet.. III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), vii.
[24]
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2000), 307-377.
Post a Comment